Ini tulisan yang sebenarnya agak personal. Tulisan tentang Kulon Progo, kabupaten kecil tempat saya lahir itu, memang selalu terasa sangat personal. Tapi kali ini, saya berusaha mengurangi kepersoanalan itu, karena saya sedang menjamu tamu: Sedulur NKS yang rela rawuh ke Kulon Progo.
Saat menulis, tiba-tiba berlesatan kembali pertanyaan-pertanyaan semua orang yang seperti ditodongkan penuh kecurigaan. Apa alasan menerbitkan buku Nami Kulo Sumarjono. Buku yang kemudian populer disebut NKS, yang telah melahirkan komunitas besar di seluruh Indonesia bernama Sedulur NKS.
Mulanya agak gelagepan menjawab pertanyaan serupa itu. Tapi kini, setelah genap satu tahun buku itu lahir, alasan saya menulis cerita perjalanan hidup makin benderang. Tujuannya, juga sangat gamblang: ikut menyukseskan Bela Beli Kulon Progo.
Agak ambisius. Atau malah ada yang menyebut mengada-ada. Namun ini betulan. Niat saya tulus, bukan karena pamrih apa-apa.
Bela Beli Kulon Progo adalah program yang diinisiasi oleh Bapak Hasto Wardoyo saat masih menjadi Bupati Kulon Progo. Tahun lahirnya gerakan itu adalah 2013. Program ini tidak main-main, bahkan ada semacam ikrar. Ikrar Bela Beli Kulon Progo yang spiritnya merebut pasar di negeri sendiri.
Negeri yang dimaksud adalah bumi Kulon Progo. Program ini merupakan gerakan untuk membeli produk-produk lokal yang dipunyai Kulon Progo. Salah satu semboyannya, kalau bisa menanam mengapa harus membeli.
Nah, nyambung ke gerakan mulia itu, tujuan penulisan Buku NKS juga bagian dari Bela Beli Kulon Progo. Minimal, ikut melengkapi cerita tentang Kulon Progo dari sisi yang meskipun pribadi tapi merupakan gejala umum.
Memang jika dibandingkan dengan kisah Ikal yang besar di Belitong, kalah jauh. Andrea Hirata mampu menghadirkan sihir perjuangan Laskar Pelangi lewat novel, yang membuat Belitong melambung.
Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan menjelajah wilayah yang dikisahkan penuh keajaiban dalam novel Laskar Pelangi. Jadinya, agak minder juga melihat pesona Belitong yang ya pantas jika semua orang seperti ditarik untuk datang, melihat kemolekan negeri milik Ikal dan para sahabatnya itu. Jadi fix, tidak perlu dibandingkan dengan Kulon Progo. Cukup baca saja dan menjadi Sedulur NKS.
Lumayan. Walau tidak bisa dibandingkan dengan iklan Belitong lewat Novel Laskar Pelangi yang sangat kuat, beberapa Sedulur NKS penasaran dengan dusun tempat kelahiran saya. Dusun dengan nama yang tak kalah ajaib. Anjir.
Saya menduga mereka hanya ingin mengonfirmasi se-ndeso apa dusun yang oleh orang Kulon Progo dilafalkan sebagai Nganjir itu. Benarkah serupa gambar dalam Buku NKS? Setelah 51 tahun, apakah masih juga ndeso atau tetap menjadi dusun yang terjaga kedusunannya?
Pada mereka yang agak kagum, barangkali ingin membayangkan menjadi saya waktu kecil lengkap dengan segala perjuangannya. Tapi okelah. Apapun alasannya, ada bangga melihat para Sedulur NKS mengunggah foto rumah tabon warisan bapak-simbok. Alhamdulillah, mereka sudah sampai di negeri Nganjir.
Melihat foto rumah (meski tak lagi berbentuk joglo ndeso seperti dulu) di sosial media atau mengirimkannya lewat jalur pribadi, rasanya terharu. Segeralah semua bayangan masa lalu, yang meskipun penuh duka-lara, terasa indah dan ngangeni.
Keharuan semakin dalam, apalagi saya di-tag atau di bagian bawah ada caption kampung ndesonya NKS beserta hastag NKS atau hastag kulonprogo. Mereka, lengkap sudah menjadi Sedulur NKS: menghirup udara dusun kelahiran saya, bercengkrama dengan kakak perempuan saya, satu dari tujuh berSUdara yang sudah pasti namanya diawali dengan SU.
Pada akhirnya, saya kagum dengan antusiasme Sedulur NKS yang rela lelah untuk menjelajah Kulon Progo, termasuk mblusuk-mblusuk ke Nganjir.
Saat lebaran lalu misalnya. Tiba-tiba ada rekan dari Badan Penyelenggara Jaminian Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek, agar gak tertukar dengan BPJS yang lain) yang mengirim foto sudah bersama kakak saya di rumah Bapak Simbok di Nganjir. “Lho kok bisa sampai? Bagaimana bisa menemukannya? ” Pertanyaan saya itu, sekaligus mewakili takjuban yang besar.
Saya tahu. Tidak mudah menemukan rumah masa kecil saya dulu. Jangan pernah mengandalkan google map, jika tidak ingin kesasar jauh dari sasaran. Lebih baik hentikan mobil, turun di warung, beli cemilan sambil bertanya. Sebab, di Kulon Progo masih berlaku pepatah lama: malu bertanya sesat di jalan.
Tapi metoda sahabat saya ini berbeda. Dan, jitu. Ia mengikuti petunjuk yang ada dalam buku NKS. Setelah memasuki kabupaten Kulon Progo, baru mengaktifkan GPS (Gunakan Penduduk Setempat) untuk bertanya.
Ada dua rekan lain yang juga sampai di rumah tabon, meski dalam waktu yang berbeda. Mereka dari institusi pengawas industri keuangan, institusi lama tempat saya mengabdi. Masing-masing, bahkan membawa keluarganya.
Selain cerita tentang Nganjir dan rumah joglo nggunung, dalam setiap sharing perjalanan hidup, saya selalu menyebut tempat-tempat yang wajib dikunjungi di Kulon Progo. Kalibiru yang mengharu-biru, atau waduk Sermo yang membuat jempol terasa ringan mengalirkannya ke dunia maya.
Suatu kali, ada rekan dari Kementerian Keuangan yang certa telah sampai ke Waduk Sermo. Sejumlah foto di facebook menjadi bukti, ia sudah selfie di Waduk Sermo dan melewati tikungan menuju dusun Nganjir yang dulu saya beri tanda khusus: aroma khas untuk bisa sampai ke rumah tabon.
Itu cerita beberapa Sedulur NKS yang sampai ke Kulon Progo, lalu ke Nganjir dan mampir ke Sermo. Cerita Bu Dwi, Mbak Lina, dan Mas Arya, tentu jauh lebih riuh. Saya sengaja mengajak ketiganya melipir dari Jogja, setelah menyudahi jadwal ketat dari Jumat pagi hingga larut malam.
Jadi, Sabtu masih sangat pagi. Tapi kami sudah rapi. Dalam senyap (meski saya tahu ada yang bergemuruh di dalam hati karena mau wisata ke Kulon Progo) Bu Dwi, Mbak Lina, dan Mas Arya sudah bersiap.
Berganti fungsi. Jika selama ini, ketiganya cak-cek cekatan mengurus ini-itu kebutuhan saya di kantor, saatnya bertukar tugas. Kali ini saya yang berusaha mengimbangi kegesitan mereka menjelaskan segala hal tentang Kulon Progo. Inilah saatnya, mempraktekkan Bela Beli Kulon Progo secara lebih kasat mata. Sarapan pun saya pilihkan di dekat Pasar Wates.
Dan, petualangan menanti. Dari Wates, ibukota Kabupaten Kulon Progo yang masih tetap bersahaja seperti dulu, perjalanan mendebarkan dimulai. Jika tidak biasa, jangan coba-coba memaju kendaraan. Bukan hanya terjal, tapi jalan juga sempit.
Inilah Kalibiru. Setelah sejumlah guncangan hebat, mobil diparkir jauh dari lokasi utama. Masih harus mengayun kaki, yang lagi-lagi, tak mudah. Terjal serta ngos-ngosan. Tapi begitu sampai di puncak, terasa betul bahwa perjuangan memang tak pernah sia-sia: Kalibiru memberi seribu lagu.
Lagu tentang pemandangan alam yang elok, yakinlah akan memberi kerinduan, untuk suatu kali, kembali ke Kalibiru: berguncang di dalam mobil dari Wates ke Sermo, lalu memanjat ketinggian di atas Sermo, serta mengayun langah yang memberi ngos-ngosan.
Sampai di Kalibiru, yang segera menggebu ialah mengabadikan setiap momen. Inilah saatnya merayakan kebersamaan, terutama dengan Bu Dwi yang segera lulus kerja dan memasuki masa persiapan pensiun.
Kepada Bu Dwi, akan ada kerinduan kepada seorang ibu yang menemani sejak saya berada di BP Jamsostek. Hormat dan salut pada dedikasi Ibu yang sabar dan kadang harus menerima saat dicemberuti. Ibu yang hebat. Sebab, bisa sampai puncak Kalibiru, yang penuh perjuangan untuk bisa ikut memandang Waduk Sermo yang elok.
Bu Dwi yang pembawaanya selalu tenang, bahkan rela berusah-payah memanjat pohon di sebuah spot foto, untuk kemudian ikut aksi lompat di udara, demi mendapatkan foto terbaik di Kalibiru. Beliau, dengan susah-payah yang sama, harus turun dari pohon, sampai-sampai hampir kami tinggal di atas pohon, karena tak bisa turun.
Maka begitulah. Kalibiru kami habisi. Semua spot foto kami coba. Gardu pandang atau rumah pohon, spot flower, spot panggung, spot oval, spot bundar, spot gantole, sepeda langit, atau spot high ropes games.
Demi sepotong foto, ngeri harus dikalahkan. Meski, sejatinya tidak perlu khawatir jatuh karena sudah menggunakan pelindung diri. Apalagi jika sudah ikut jaminan sosial, rasanya aman dan nyaman.
Selesai berselfie ria di Kalibiru, saatnya turun gunung mendekat ke jernihnya air Waduk Sermo. Hanya perlu sepeluh menit sampai, itu pun mobil sudah ngerem terus.
Meninggalkan Sermo, siang datang. Mumpung ada di Sermo, saya harus melunasi rasa penasaran Bu Dwi dan Mbak Lina yang ingin melihat dusun NKS. Jadinya, tidaak kurang dari 15 menit, kami sudah sampai di rumah warisan Bapak Simbok. Kakak ketiga dan kakak ipar menjadi pengganti Bapak-Simbok sebagai tuan rumah yang baik. Terutama, dalam soal memberi suguhan ndeso: geblek dan tempe benguk yang khas Kulon Progo.
Selesai. Berikutnya, mengajar waktu, menuju Yogyakarta International Airport. Inilah Bandara kebanggaan masyarakat Kulon Progo yang, lagi-lagi, memaksa siapa saja untuk tak beranjak senjenak, membuat satu jepretan, dua jepretan sebelum momen itu berpindah ke media sosial.(*)
Depok, 13 September 2019. Salam NKS