Ratusan Portal E-Dagang Bermasalah di Tutup
Jakarta,Koranpelita.com
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum – HAM melalui Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa telah menutup ratusan portal e-Dagang bermasalah yang merugikan pemilik merek dagang hingga pengguna akhir atau konsumen.
“Kami sudah tutup ratusan website bermasalah. Kami mengundang YLKI, Kementrian terkait seperti Kominfo, kami melakukan gelar perkara dan kami putuskan untuk ditutup,” ungkap Direktur Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa, Direktorat Jenderal HKI Kemenhum-HAM, Brigjen Pol Reinhard Silitonga di sela buka puasa bersama Mansyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) di Jakarta, Senin (20/5/2019).
Reinhard menjelaskan, rata-rata ratusan portal e-Dagang yang ditutup adalah portal tidak berbayar seperti e-Dagang berbasis wordpress dan blog. Dalam prakteknya, pemilik blog menayangkan iklan produk dengan harga murah, dan hanya mencantumkan nomor kontak saja, tanpa menyertakan alamat.
“Saat dihubungi, harganya justru malah lebih tinggi berlipat-lipat dari yang tertera di situs. Ini tentu merugikan konsumen juga pemilik produk yang dipalsukan. Maka kita tutup ratusan situs tersebut,” jelas Brigjen Pol Reinhard Silitonga.
Dalam penyelesaian laporan yang masuk, pihaknya telah membentuk tim verifikasi penutupan konten iklan di website. Di sisi lain, pelaporan masyarakat juga mengeluhkan lamanya proses pencabutan konten iklan yang melanggar tersebut. Padahal kewenangannya ada pada asosiasi e-commerce seperti idEA. “Jadi kami teruskan ke idEA,” katanya.
Reinhard menambahkan, secara umum sepanjang 2018 ada 40 laporan pelanggaran merek yang masuk ke Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa Merek. “50 persenya kita sudah selesaikan. Kalau periode Januari – Mei 2019 ini ada sekitar 20 laporan yang masuk. Bulan Mei saja ada 17 kasus,” ujarnya.
Sementara itu Even Alex Chandra, Ketua Kebijakan Umum idEA mengatakan, ada ratusan juta konten iklan di e-commerce yang bermasalah. “Kami sebenarnya kesulitan juga. Karena sejatinya di awal itu sudah ada ketentuan bahwa tidak boleh menjual barang palsu yang melanggar merek dan HKI. Tetapi tetap saja ada yang upload iklan barang palsu. Bisa mencapai ratusan juta konten iklan,” kata Alex di kesempatan yang sama.
Soal lambatnya penanganan ‘take down’ konten iklan yang bermasalah, Alex menjelaskan biasanya ada pada link iklan yang dikirim pelapor tidak valid. “Proses take down itu 14 hari kerja. Ada yang sudah lengkap data-data resminya, lalu laporan pelanggaran via link iklan tidak bisa di-klik,” jelas Alex.
Sementara Justisiari P. Kusumah, Ketua MIAP mengatakan, ada sejumlah sebab beredarnya barang palsu di situs e-Dagang. Pertama, dengan e-Dagang, akses pedagang dan pembeli tidak tersekat. “Kalau dulu suplayer besar saja yang bisa, sekarang dengan platform e-Dagang, pedagang bisa langsung jual barang ke end user,” katanya.
Kedua, identitas tertutup juga membuat pelaku dagang curang dengan leluasa menjual produk palsu. Ketiga, proses pembayaran secara online juga menjadi penyebab. Karena selama kita bisa gunakan kartu kredit, atau fasilitas pembayaran online, pembeli bisa langsung bayar.
“Semua isu ini menarik dan serius.
Karena permasalahan ini bukan hanya pemilik hak, juga platfom e-Dagang, aparat kepolisian, Bea Cukai. Jadi butuh upaya konstraktif kolaborasi untuk menangani masalah ini. Memang ada kesepaktan non formal untuk menanggulangi maslah ini. Tetapi belum cukup. Butuh kesepakatan formal. Karena unsur perlindungan konsumen dan produsen sangat penting,” jelas Justisiari. (Vin)