DENGAN hati berdebar-debar seluruh bangsa Indonesia saat ini sedang was-was menunggu apa yang terjadi pada hari “H” 22 Mei 2019 saat penetapan pemenang Pilpres oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum). Di atas kertas, penetapan itu amat muskil,sulit,sukar,rumit dan pelik dikarenakan kedua kubu telah mengklaim diri pemenang.
Masyarakat akar rumput telah terjebak (dijebak) dalam suatu kondisi yang tidak menentu. Durasi panjang masa kampanye dipenuhi narasi destruktif oleh relawan, juru bicara dan tim pemenangan dua kubu lebih berfungsi sebagai racun perusak kerukunan bangsa. Situasi dan kondisi tak menentu ini melahirkan berbagai macam tafsir.
Kabar buruknya, ada asumsi yang memprediksi kubu petahana yang masih memiliki kekuasaan formal sampai Oktober akan menggunakan langkah “drastis”.
Mencermati luasnya dan tajamnya konflik horisontal masyarakat di akar rumput atas nama stabilitas dan keamanan, maka proses pemilu – kemungkinan besar–akan dihentikan karena dinilai mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Diksi people power dan makar tiba-tiba terlontar begitu saja. Kedua diksi itu dilihat dari sudut stabilitas dan keamanan adalah ancaman serius yang tidak boleh dibiarkan. Tingginya intensitas agenda unjuk rasa paska pencoblosan serta merta “memindahkan” kegiatan
parlemen di Senayan menjadi parlemen jalanan. Rakyat perlu sebuah sarana atau “institusi” penyalur aspirasi yang lain. Panggung penyaluran rangkaian harian aspirasi akhirnya berpindah ke halaman kantor
KPU dan BAWASLU.
Inilah yang terjadi saat ini. Kurangnya kepedulian anggota DPR kepada aspirasi rakyat yang berkembang melahirkan parlemen jalanan. Wakil rakyat itu terkesan gamang tak bisa bersikap. Mereka tersekap di dalam kamar gelap koalisi politik transaksional jangka pendek.
Di satu sisi penyampaian aspirasi rakyat di luar Senayan dimata pemerintah itu dapat diterjemahkan sebagai embrio people power dan upaya makar.
Cara pandang pemerintah tentu tidak salah. Itulah bahasa dan instrumen “konvensional” dan normative yang disediakan konstitusi karena itu bagian tak terpisahkan dalam konteks perlindungan negara kepada rakyat dan segenap tumpah darah serta sebagai upaya penegakan hukum.
Sebaliknya, langkah negara yang dilakukan di dalam kondisi titik didih konflik yang sudah menajam
itu, diterjemahkan penggerak unjuk rasa pencari keadilan sebagai langkah yang justru tidak adil.
Ketegangan antara langkah penegakan hukum dan keamanan versus tuntutan ketidak adilan jika gegabah dapat membuka pintu represif oleh negara yang pada sisi lain beririsan dengan meningginya tuntutan perlawanan rakyat.
Konflik konservatif ini seyogyanya dibaca sebagai siklus alam duapuluh tahunan.
Mensyaratkan perlunya ada perubahan. Perubahan atas kemandekan sistem politik produk reformasi yang dirasakan sudah usang, kaku, macet dan menyuburkan korupsi selama duapuluh tahun, rezim reformasi dinilai nyaris gagal menghadirkan kesejahteraan. Padahal
gerakan ganyang KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) Orde Baru lahir untuk mengakhiri segala penyimpangan negara termasuk praktik korupsi dan kawan-kawannya.
Nasib bangsa besar berpenduduk kurang lebih 260 juta mencemaskan, karena pada akhirnya nampak-nampaknya hanya akan ditentukan oleh tujuh orang komisioner KPU.
Mereka- komisioner KPU itu – memang akademisi handal dari kampus. Akan tetapi mereka belum memiliki rekam jejak panjang mengelola konflik politik level negara. Mereka saat ini sedang berada di tengah badai konflik politik yang tidak biasa. Inikah perangkap reformasi?
(Penulis wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya)