Masjid Hidayatullah Jakarta Saksi Perjuangan Muslim Betawi

Masjid Hidayatullah, Jakarta memadukan berbagai unsur kebudayaan yang hidup di metropolitan sehingga menjadikan tradisi dan modernitas mewarnai kehidupan ibukota.

Masjid Hidayatullah berdiri sekitar tahun 1743 M. Selama tiga abad, menjadi saksi sejarah masyarakat muslim Jakarta. Di awal berdirinya menjadi pusat peradaban masyarakat, syiar Islam dan kemajuan zamannya. Di era kemerdekaan Republik Indonesia, keberadaannya menjadi saksi perjuangan masyarakat muslim dari penjajahan bangsa asing.

Masjid Hidayatullah menjadi saksi bisu perjuangan umat Islam saat melawan bangsa penjajah. Dulu sering dipakai sebagai tempat mengatur strategi. Dua menara menjulang tinggi di kanan dan kiri pintu masuk masjid dulunya juga dipakai untuk mengintai musuh. Melalui masjid inilah pengiriman senjata ke daerah Karawang dan Cikampek dilakukan.

Masjid Hidayatullah saat ini menjadi osae bagi masyarakat muslim di tengah metropolitan yang semakin ganas dan meranggas. Bangunannya terjepit di antara gedung pencakar langit justru mendatangkan kesejukan bagi siapa saja yang singgah ketika terik mentari membakar ibukota. Memberikan keteduhan hati, menentramkan batin dan menyegarkan ruhani. Sejuk terasa begitu menjejakan kaki Masjid Hidayatullah. Meskipun tak dilengkapi dengan alat pendingin ruangan, tak ada gerah, walaupun di lokasi siang hari dengan kondisi sinar matahari yang sangat terik. Hal itu karena banyaknya pepohonan yang mengelilingi masjid yang terletak tak jauh dari aliran Kali Krukut ini.

Rentang perjalanannya yang panjang, bangunan masjid mengalami pasang surut. Lapuk dimakan usia sehingga membutuhkan perbaikan. Ketika metropolitan membutuhkan lebih banyak ruang untuk membangun kawasan, masjid menjadi sasaran pemodal yang tidak memiliki kepekaan sosial. Bangunan yang menurut undang-undang mendapat perlindungan sebagai cagar budaya, masih digerogoti dan dihancurkan. Pengusaha yang berkolaborasi dengan penguasa membenturkan dengan kepentingan masyarakat sehingga nyaris mengakibatkan pertikaian dan pertumpahan darah di antara masyarakat pendukung dan penolak pembongkaran.

Kini bangunan masjid mulai tertata, meski tidak sempat mengembangkan diri. Lokasi yang terhimpit gedung tinggi di satu sisi dan di sisi lainnya berselebahan dengan Kali Krukut. Sementara akses jalan harus dibuka untuk memberikan kesempatan masyarakat lalu-lalang. Untuk sementara fisik masjid aman dari berbagai gangguan dan ancaman penggusuran.

Masjid dibangun di atas tanah yang diwakafkan pengusaha batik bernama Muhammad Yusuf. Beliau menyerahkan tanah wakaf, terus pergi, tahu ke mana. Masyarakat tidak banyak mengetahui latar belakang orang yang mewakafkan tanahnya. Tidak banyak catatan selain nama, Muhammad Yusuf. Namun catatan sejarah yang minim justru menjadi salah satu sifat orang yang mewakafkah hartanya seperti anjuran Rasulullah Muhammad SAW.

Masjid Hidayatullah berada di Jalan Karet Depan, Kelurahan Karet Semanggi, Kecamatan Setia Budi, Kota Jakarta Selatan.

Masjid Hidayatullah terdiri atas dua bangunan utama. Satu bangunan asli dan satu bangunan tambahan. Bangunan tambahan diresmikan penggunaannya tahun 1999. Bangunan tambahan dibangun sebuah menara setinggi sekitar 15 meter. Sedangkan bangunan asli merupakan bangunan yang tudak mengalami perubahan bentuk sejak pertama kalinya berdiri.

Izin renovasi masjid ke Lembaga Cagar Budaya dan Dewan Masjid Indonesia. Masih menunggu keputusan cagar budaya dan Dewan Masjid. Karena ini bangunan bersejarah. Mau ngecat aja tidak boleh sembarangan. Harus nunggu izin. Ada plafon yang rusak, kalau mau perbaiki harus nunggu dulu.Tidak boleh kita bergerak sendiri. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Cagar Budaya yang antara lain mensyaratkan untuk tidak mengubah bentuk agar tetap sesuai dengan aslinya.

Arsitektur Masjid Hidayatullah memadukan berbagai unsur budaya yang justru ciri khas dari sedikitnya empat kebudayaan. Kebudayaan Tiongkok, Betawi, Jawa, dan Arab. Ciri khas kebudayaan Tiongkok dapat dilihat dari bentuk atap bersusun yang merupakan gaya arsitektur bangunan kelenteng. Sedangkan kebudayaan Betawi diwakili dengan adanya bentuk pintu dan jendela yang memiliki lubang-lubang ventilasi. Bangunan Jawa tampak dari limasan yang menjadi model umumnya rumah di Jawa. Bagian dalam masjid tiang-tiang dari kayu jati umumnya masjid di Jawa. Di setiap tiang terdapat tulisan kaligrafi Arab. Di mimbarnya ada ukiran kembang melatinya khas dari Cina tuh. Menara yang dibangun belakangan menjadi ciri bangunan masjid di Turky Utsmani di masa keemasannya.

Masjid Hidayatullah terdapat puluhan makam para pendiri masjid dan para keluarganya. Beberapa puluh tahun silam komplek makam masih sampai di bibir kali. Namun sebagian dari makam tersebut harus dipindah akibat adanya perluasan jalan. Dulu tanah masjid luas, makam-makam sampai pinggir kali. Tapi karena kita butuh jalan jadinya sebagian makam dipindah. Dibawa oleh ahli warisnya.

Masjid Hidayatullah sudah tiga kali direnovasi, tahun 1921, 1948, dan 1996.

Namun renovasi sama sekali tidak mengubah wajah asli masjid. Dari luar terlihat seperti bangunan khas Thionghoa, dengan atap bersusun tiga melengkung.

Sementara kehadiran dua menara yang simetris adalah ciri bangunan di tanah Jawa. Namun saat memasuki lingkungan masjid, jamaah dapat merasakan budaya lain. Pintu-pintu dan jendela yang ada menunjukan gaya Betawi.

About redaksi

Check Also

PNS Kodiklatal Surabaya Gelar Aksi Donor Darah dalam Rangka HUT KORPRI ke-53 Tahun 2024

Surabaya, koranpelita.com Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-53 Tahun 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca