Jakarta, Koranpelita.com
Aliansi Kebangsaan bersama mitra lembaga forum rektor Indonesia telah berusaha menjadikan Pancasila sebagai “Ideologi kerja (working ideology)” dengan sungguh-sungguh mengembangkannya menjadi “kerangka
paradigmatik” dalam praksis pembangunan yang memandu kebijakan pembangunan nasional dalam tiga ranah pembangunan yaitu: Ranah Mental Kultural (Tata Nilai), Ranah Institusional Politikal (Tata Kelola), dan Ranah Material Teknologikal (Tata Sejahtera).
Dalam ranah tata sejahtera, berdasarkan Pancasila dan Cita Negara yang ingin dibangun, kesejahteraan umum yang ingin diwujudkan bagi bangsa indonesia adalah kesejahteraan umum yang berkeadilan, yang didistribusikan berdasarkan prinsip keadilan distributif menyangkut harta (wealth), kesempatan (opportunities) dan status kehormatan (privilege).
Sedangkan untuk menumbuhkannya, diupayakan dengan perekonomian merdeka dan inklusif sebagai usaha bersama berlandaskan usaha tolong-menolong (semangat koperatif), disertai penguasaan negara atas “karunia kekayaan bersama” serta atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; seraya memberi nilai tambah atas keunggulan komparatif yang dimiliki untuk menjadi keunggulan kompetitif dengan memanfaatkan “sains dan teknologi”.
Hal itu disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo saat berbicara di acara Diskusi Kebangsaan dengan tema: “Kajian Penyusunan Peta Jalan (Road Map) Penguatan Sistem Inovasi Nasional”, di Jakarta Kamis (28/3/2024). Menurutnya, pada era perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat saat ini, potensi sumber daya alam yang dimiliki sebuah negara tidak menjamin keberhasilan dalam menumbuhkan dan mengembangkan ekonominya secara berkelanjutan.
Terbukti bahwa negara-negara yang mengembangkan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy), memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk menumbuh kembangkan ekonomi nasionalnya yang berkelanjutan.
“Model ekonomi berbasis pengetahuan, dapat menstimulasi kreativitas dalam penerapan sains dan teknologi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan kapasitas sains dan teknologi, kekayaan alam dapat didayagunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup suatu bangsa. Oleh karena itulah, World Bank menaruh perhatian untuk mengukur dan memonitor perkembangan model ekonomi ini dengan menggunakan The Knowledge Economy Index (KEI) melalui empat pilar yang menjadi dasar penilaiannya,” jelas Pontjo.
Dia menjelaskan, negara-negara yang telah menjalankan ekonomi berbasis pengetahuan, seperti negara-negara Eropa pada umumnya dan beberapa negara Asia seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan ternyata lebih mampu mensejahterakan rakyatnya daripada negara-negara yang hanya bersandar pada kekayaan sumberdaya alam.
“Indonesia yang memiliki sumber daya alam berlimpah ternyata belum mampu menjadikannya sebagai keunggulan kompetitif dan mewujudkan kesejahteraan yang kita cita-citakan.
“Belajar dari pengalaman sukses negara-negara yang saya sebutkan tadi, sudah seharusnyalah Indonesia mentransformasikan diri menuju ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy),” ujarnya.
Untuk itu, mendesak bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan penguasaan sains dan teknlologinya yang memang saat ini masih ketinggalan. Dalam laporan Indeks Inovasi Global (Global Inovation Index) tahun 2023 yang dirilis oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) pada Nopember 2023, Indonesia masih berada pada peringkat 61 dari 132 negara di dunia. Meskipun mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, capaian inovasi Indonesia masih kalah dari enam negara lainnya di kawasan ASEAN.
Belum menunjukkan kinerja yang memadai
Rendahnya penguasaan sains dan teknologi Indonesia antara lain disebabkan karena belum terbangunnya ekosistem Inovasi Nasional yang kondusif bagi pengembangan sains dan teknologi, baik pada aspek regulasi, tatakelola, alokasi sumberdaya, dan pengaturan kelembagaan. Dari sisi kelembagaan, sinergi dan kolaborasi tiga pihak (Triple-Helix) antara perguruan tinggi/lembaga riset, pemerintah,dan dunia usaha juga belum menunjukkan kinerja yang memadai.
Berlandaskan pada strategi Triple Helix ini, pengembangan sains dan teknologi tentu tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus ada upaya sinergetik dari ketiga pihak tersebut. Sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruantinggi/lembaga riset, dan industri/dunia usaha, serta pemberdayaan masyarakat sangatlah penting, terutama dalam mendorong proses hilirisasi yaitu proses mendekatkan hasil riset dan inovasi kepada dunia usaha/industri atau masyarakat untuk penerapan hingga pemasarannya.
Sampai saat ini, proses hilirisasi hasil riset dan inovasi yang dihasilkan oleh lembaga riset/perguruan tinggi masih menghadapi berbagai masalah, antara lain: hasil riset tidak sesuai dengan kebutuhan industri/dunia usaha, masih rendahnya kepercayaan industri terhadap hasil invensi lembaga-lembaga riset, pendanaan inovasi, hambatan birokrasi, dan ekosistem riset yang tidak kondusif, terutama adanya jurang yang sangat lebar antara lembaga riset perguruan tinggi di satu sisi, dan dunia usaha/industri di sisi lain. Begitu banyaknya hambatan yang masih dihadapi, maka proses hilirisasi menjadi fase yang sangat kritis sehingga sering disebut sebagai “Lembah Kematian Inovasi”. Selain itu, problem riset Indonesia terlalu memusat pada lembaga riset negara. “Kurang ada terobosan untuk membawa aktivitas dan hasil riset ke jantung masyarakat,” tandasnya.
Bagaimana pun juga, riset inovatif itu harus sampai ke pasar. Oleh karena itu, kegiatan riset dan inovasi mestinya menjadi bagian organik dari dunia usaha. Untuk itu perlu ada kebijakan yang mendorong pembudayaan riset-inovasi di dunia usaha, dengan berbagai kerangka kebijakan fiskal seperti: insentif pajak dan permodalan.
“Pentingnya kolaborasi strategis ini harus juga disadari oleh dunia usaha kita. Pengusaha sebagai bagian dari masyarakat harus ambil tanggungjawab atas kemajuan sains dan teknologi bangsa ini. Untuk itu, Pengusaha Indonesia sudah seharusnya tidak sekedar menjadi “benefit seekers” tetapi juga memiliki tanggungjawab atas kepentingan nasional sebagai wujud dari kewajiban konstitusional “bela negara” atas bangsa dan negaranya,” kata Pontjo.
Menyadari masih banyaknya masalah, hambatan, dan tantangan yang kita hadapi dalam peningkatan penguasaan sains dan teknologi bangsa Indonesia, maka penguatan Sistem Inovasi Nasional sangat diperlukan demi menguatnya kelembagaan iptek, sumberdaya iptek, dan jaringan iptek. “Mudah-mudahan dengan keluarnya Undang Undang No. 11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, kebutuhan akan penguatan Sistem Inovasi Nasional ini dapat terpenuhi, ” sambungnya. Melalui Undang-Undang ini, telah coba diletakkan pondasi penting untuk penguatan Sistem Inovasi Nasional.
Dalam rangka menguatkan pondasi tersebut, Bappenas telah menyusun “Cetak Biru Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi” dengan memberikan arah serta koridor untuk memastikan bahwa setiap elemen pendukung sistem dapat berkolaborasi dan saling mendukung untuk dapat berkontribusi secara optimal. Merujuk cetak biru ini, ada beberapa elemen penting yang membentuk Sistem Inovasi Nasional yaitu: Elemen Regulasi, Kelembagaan, Mekanisme Akuntabilitas, Sumber Daya, Insentif & Pendanaan.
Dijelaskan Pontjo, selain problem ekosistem inovasi nasional, isu strategis yang juga harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari kita adalah isu “daya beli nasional (domestic purchasing power)” baik itu daya beli masyarakat maupun daya beli pemerintah (government expenditure)” yang merupakan kekuatan pendorong (driving force) bagi pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Oleh karena itu, sudah seharusnya “daya beli nasional” dikelola secara bijak untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional termasuk kepentingan penguatan inovasi dan iptek.
Dalam pengelolaan daya beli nasional, kita juga masih menghadapi berbagai persoalan dan hambatan, baik yang menyangkut kultur, hambatan birokrasi, kebijakan, regulasi, dll. Salah satu persoalan besar yang masih kita hadapi adalah masih berlangsungnya praktik kartel atau mafia pemburu rente (rent seeking) dan “state capture” dalam bidang perekonomian/perdagangan yang sangat membebani upaya transformasi menuju ekonomi berbasis pengetahuan. (Vin)