Sudah mau dua bulan, saya tinggal di Semarang. Memang senang. Sebab ada sewu alasan untuk kerasan di Semarang. Saya pun, sudah menduga, saya akan betah di ibukota Jawa Tengah.
Tapi saya juga sudah menduga, banyak kawan yang bertanya. Begini beberapa pertanyaannya, “gimana di Semarang? Enak nggak? Betah nggak?”
Tak hanya disampaikan secara langsung saat bertemu, pertanyaan serupa itu, disampaikan secara jarak jauh. Lewat aplikasi di ponsel atau di sosmed yang saya ikuti.
Entah sudah berapa rekan yang ingin tahu tentang itu. Dan, semua itu saya ceritakan kepada rekan-rekan di kantor. Kebetulan saya ditunjuk pimpinan menjadi komandan mereka.
Tepat sehari sebelum libur Lebaran, saya diminta untuk memberikan sekapur sirih, sebelum kami semua bersalam-salaman. Di hadapan semua rekan kantor itulah sekaligus saya menyampaikan adanya pertanyaan para pemerhati (saya mengistilahkannya NKS fans) itu.
“Terus terang saya nggak ada masalah dengan tugas baru yang saya ampu. Cuman saya nggak tahu apakah penempatan saya di sini menjadi masalah bagi rekan-rekan semua?” Kalimat saya itu, memancing reaksi. Tawa yang bergemuruh. Semoga pertanda kedatangan saya tidak membawa masalah.
Serius. Saya menikmati tugas baru yang saya terima awal Maret 2023 lalu. Banyak alasan, yang membuat saya kerasan. Jumlahnya ada seribu alasan, kalau mau dituliskan. Tapi cukuplah saya ceritakan tiga di antaranya.
Alasan pertama, mungkin agak klise. Tapi memberi kekagetan yang berarti. Ini soal orang Jakarta menyebut tua di jalan, untuk mengganti ekspresi keluhan soal durasi di jalanan yang kadang tak terbayangkan. Berangkat sebelum matahari kelihatan, pulang ketika matahari tak lagi kelihatan.
Klise khas Jakarta itu, rupanya tak berlaku di Semarang. Saya sampai diingatkan oleh seorang rekan untuk tidak berangkat kepagian. Begitulah. Kalau saya hitung-hitung, untuk sampai ke tempat bekerja hanya butuh sedikit menit. Tujuh menit.
Dan di balik sedikit menit untuk sampai kantor, saya punya banyak kewenangan untuk memutuskan hal-hal baik. Itu memang niscaya bagi semua komandan lapangan, selain kesemestian memanggul beban tanggungjawab yang tak ringan.
Komandan adalah pimpinan tertinggi di wilayah yang diberikan kewenangan memutuskan langkah mana yang mesti ditempuh untuk menyelesaikan masalah. Tentu dalam koridor yang sudah ditetapkan.
Kewenangan yang dibarengi kemampuan menjadi solusi, barangkali yang membuat saya punya alasan saya kerasan tinggal di Semarang.
Saya teringat kalimat seorang sahabat. Sahabat yang dahulu (karena saya punya kuasa untuk memindahkan dari satu satuan kerja ke satuan kerja lainnya), dimutasi ke daerah. Ia menerima dengan riang gembira dan mengatakan begini:
“Ketika saya dipindahkan misal dari Jakarta ke Medan melalui SK yang Bapak berikan, saya selalu berfikir bahwa rejeki yang diberikan Tuhan kepada saya sudah habis di Jakarta. Kini rejeki saya ada di Medan. Untuk itu, saya bersemangat untuk meraih rejeki itu di tempat baru. Dan, saya mensyukurinya atas hal itu.”
Saya mak tratap, teringat itu. Saya merasakan, suara saat mengucapkan kalimat itu serasa mantra. Ia seolah ingin mengingatkan bahwa mengeluh membuat jauh dari rejeki. Sementara bersyukur, membawa lebih makmur. Maka, kalimat serasa mantra itu, ikut mengalirkan alasan kerasan di Semarang.
Sudah tiga alasan yang saya sampaikan. Padahal saya belum bercerita tentang hangatnya sambutan rekan-rekan. Atau enaknya kulineran. Juga Kota Lama yang menyimpan sejuta cerita. Bahkan Lawang Sewu yang menyimpan banyak kisah seru.
Selamat Idul Fitri, minal aidin wal faizin, maafkan lahir dan bathin.
Semarang, 23.04.23