Ide membuat berbagai olahan dari singkong, dimulai. Semua kelompok diajak. Yang santri atau yang cenderung jauh dari kebaikan, dirangkul. Dan ternyata melalui telo, bisa mretheli perkoro sing olo. Melalui singkong, bisa merontokkan persoalan tidak bagus.
Segala perkoro olo, buruk lambat laun hilang diganti kemakmuran. Secara perlahan, wajah desa berubah. Mulai terlihat masa depan yang sangat terang.
Mas Toni mengisahkan, mereka sepakat mendirikan Wisata Edukasi. Tentu saja yang sekaitan dengan persingkongan.
Dalam kesempatan berdialog, Pak Siswo dari Pemkot Salatiga dan saya menanyakan kepada Mas Toni tentang usaha olahan singkong dan kendala yang dihadapi. Ini penting didengar oleh TPKAD. Juga oleh Industri Jasa Keuangan yang turut hadir.
Dan, benar. Kendala yang dihadapi oleh kelompoknya adalah permodalan. Sementara permintaan tiap harinya sudah mencapai sekitar 6 ton singkong untuk melayani pelanggan dari berbagai daerah.
Masalah lainnya yang saya tangkap dari penjelasan Mas Toni adalah olahan singkong saat ini belum bisa tahan lama. Rusak serta tak layak dikonsumsi saat pengiriman ke lokasi yang jauh.
Setelah mendapatkan penjelasan dan kendala yang dihadapi, saya semakin yakin bahwa TPKAD penting. Lebih jauh, salah satu program TPKAD yang perlu diimplementasikan dalam waktu yang segera adalah Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI).
EKI sendiri merupakan program mengintegrasikan seluruh potensi ekonomi dan kelembagaan yang ada di desa. Tujuannya untuk mendorong kebangkitan perekonomian desa serta pemerataan akses keuangan bagi pelaku usaha dan masyarakat di wilayah perdesaan.
Langkah awal pelaksanaan EKI adalah dengan melakukan pemetaan target desa dan kebutuhan pengembangannya, pemetaan ketersediaan akses keuangan dan kepemilikan/penggunaan rekening, serta penetapan program EKI sebagai program kerja TPAKD. Langkah awal ini dinamakan pra-inkubasi.
Langkah berikutnya berupa edukasi, pendampingan, penguatan infrastruktur, akses pasar, dan program pemberdayaan. Tahapan ini disebut inkubasi.
Pada tahapan akhir adalah aktivitas pembukaan rekening tabungan, penyaluran pembiayaan, pembukaan agen laku pandai, digitalisasi transaksi keuangan, dan transaksi keuangan lainnya yang dibutuhkan. Tahapan ini disebut pasca inkubasi.
Rasanya implementasi EKI akan menjawab kegundahan Mas Toni. Industri Jasa Keuangan yang hadir pun bersemangat untuk membantu supaya UMKM tak menemui jalan buntu. Apalagi jika pihak akademisi bisa melengkapi dengan penelitian untuk membuat olahan singkong lebih tahan lama tanpa mengurangi rasa.
Tak lupa saya selalu menitipkan pesan agar bijak dalam bertransaksi dan berinvestasi. Agar tidak terjerumus pada investasi bodong atau terlilit hutang dari pinjol odong-odong (ilegal).
Kita mesti ingat 2 L, yaitu legal dan logis. Legal yang berarti usahanya memperoleh izin dari OJK dan logis bermakna bahwa imbal hasil investasi atau hal-hal lainnya masuk akal dan tidak berlebihan.
Jika ingin mengambil kredit, cek benar pemberi kredit dari lembaga jasa keuangan yang legal. Dan, yang tak kalah penting ukur baju badan sendiri. Jangan sampai besar pasak dari pada tiang yang akhirnya tak mampu untuk membayar cicilan.
Begitupun dalam berinvestasi. Jangan mudah diimingi-imingi oleh pihak-pihak yang menjanjikan nilai investasi yang sangat tinggi. Apalagi percaya pada mereka yang mengaku bisa menggandakan uang. Bukan saja pokok atau modal yang hilang, tapi nyawa bisa-bisa turut melayang, seperti kasus yang terjadi baru-baru ini di Banjarnegara. Waspadalah… waspadalah!
Tak terasa hari beranjak sore. Sebelum meninggalkan Kampung Singkong, saya membeli beberapa olahan singkong yang ternyata ada paling favorit. Tidak sekadar membeli sebagai basa-basi, tapi saya sengaja membeli dalam jumlah yang agak banyak. Ternyata sangat murah dan cara membayarnya pun sangat mudah dengan QRIS.
Sebenarnya sejak rapat di pemkot Salatiga, ingatan saya terlempar jauh ke masa kecil. Telo sudah menjadi menu harian saya sebagai anak ndeso. Saya pun teringat cinta monyet saat mendekati anak gadis yang masih sekampung. Dan benar, sliramu kuwi koyo telo, empuk tur ngangeni. Kamu seperti singkong, empuk dan bikin kangen. Persis dengan apa yang tertulis di kaos souvenir yang diberikan Mas Toni kepada saya.
Hujan cukup deras saat saya pamit untuk kembali ke Semarang. Ini pertanda baik karena tanaman singkong akan tumbuh subur tersiram hujan.
Rasanya saya tak salah ke Kampung Singkong ditemani oleh Mas Gatot. Ia tahu berbagai olahan singkong yang jumlah mencapai 153 varian. Saya membatin, nama gatot juga sangat dekat dengan telo. Paling tidak, di kampung saya, gatot termasuk salah satu jenis olahan dari bahan baku singkong. (*)