Pressure Oh Pressure

Oleh Man Suparman

Dalam obrolan sehari-hari, sering mendengar istilah pressure yang artinya dalam bahasa Indonesia, yakni tekanan atau memberi tekanan kepada seseorang, memaksa.

Dalam dunia politik ada juga yang disebut pressure group atau kelompok kepentingan, yaitu sebuah kelompok yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa berkehendak memperoleh jabatan publik. Kelompok ini tidak berusaha menguasai pengelolaan pemerintahan secara langsung.

Kelompok tersebut, tempat menampung saran, kritik, dan tuntutan kepentingan bagi anggota masyarakat, serta menyampaikannya kepada sistem politik yang ada. Kelompok-kelompok kepentingan muncul pertama kali pada awal abad ke-19. Nah, disebut kelompok penekan ( pressure group ).

Di negeri kita, sejak dibukanya kran kebebasan dengan bingkai reformasi, bak jamur yang tumbuh dimusim hujan, bermunculan berbagai organisasi kemasyarakatan bahkan media yang bisa disebutkan sebagai kelompok kepentingan dengan berbagai bingkai untuk atas nama keadilan, kepentingan rakyat, penegakan hukum, dan lain-lainnya.

Organisasi-organisasi itu, namanya juga seram-seram atau menyeramkan, padahal yang “diperjuangkan” adalah soal keadilan, soal kedamaian, soal moral, soal agama, soal kebangsaan, soal sosial budaya dan segudang persoalan lainnya. Hmmm, nyaris tak ada nama organisasi, komunitas, atau perkumpulan yang namanya halus menyejukkan dan menyegarkan seperti merk sabun mandi.

Lahirnya banyak organisasi atau perkumpulan boleh jadi merupakan sesuatu yang baik dalam berdemokrasi, dalam membangun bangsa. Kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat, kebebasan berorganisasi merupakan media yang sangat strategis untuk terwujudnya maksud dan tujuan didirikannya negeri ini sebagai alat pressure.

Namun dalam praktiknya, tidak sedikit perilaku pengurus organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan atau organiasi apa pun namanya, pada akhirnya ditengarai hanya menjadikan organisasinya untuk alat presur (penekan) kepentingan pengurusnya, kepentingan pribadi, dan kepentingan kelompoknya dengan dagangan ketidakadilan untuk atas nama kepentingan rakyat.

Sebagai contoh, ketika ada sekelompok organisasi kemasyarakatan, atau organisasi apa pun namanya, melakukan untuk rasa mengkritisi tender proyek di sejumlah dinas atau mengkritisi berbagai ketimpangan lainnya. Atau berbagai dugaan kasus lainnya.

Sayangnya, oleh dinas bersangkutan bukan dengan menyelesaikan persoalan dengan meningkatkan kinerja yang baik, jujur, tidak korup, tidak menerima suap, namun sebaliknya dijawab dengan diberi PL (proyek penunjukan langsung) atau diberi sangu. Mereka pun pulang dengan nyaman, karena sukses melakukan pressure dengan atas nama menegakan kebenaran, dan keadilan.

Kondisi seperti itu, justeru sebaliknya bukan merubah keadaan yang lebih baik, bahkan semakin memperparah keadaan. Sebab, organisasi, yang dibuat dijadikan sebagai alat presur untuk kepentingan sesaat pengurus atau kelompoknya.

Dengan begitu, apa yang diperjuangkan untuk terwujudnya keadilan, penegakan hukum. Sulit rasanya akan dapat terwujud. Akhirnya , muncul istilah “berjamaah”, bagi-bagi kue pembangunan, atau “sama-sama kita cari makan”. Wallohu’alam. (Penulis Wartawan Harian Umum Pelita 1980 – 2018, www.koranpelita.com).

About redaksi

Check Also

Inovasi Ketahanan Pangan Kota Semarang Kembali Raih Penghargaan Tingkat Nasional

Semarang,KORANPELITA com – Inovasi Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang di bidang ketahanan pangan kembali mendapatkan apresiasi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca