Mengapresiasi 4 Januari:
Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit
Ketidakadilan paling menykitkan adalah pilih kasih dan pandang sayang yang didasarkan pada kondisi alamiah yaitu adanya perbedaan Suku, Ras, Agama dan Antargolongan (SARA) Namun demikian hukum dunia senantiasa memberikan pelajaran, mulai dahulu, sekarang dan bahkan di masa yang akan datang kebijakan dan tindakan penguasa dalam menegakkan keadilan di muka bumi ini yang berorientasi kepada ketidakadilan dimaksud. Tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, sebisa yang dilakukan adalah mengurangi.
Konsep dari dunia Barat, yang selama ini kita kenal memahai permasalahan yang berkait dengan kondisi SARA ini berdasarkan pemahaman logika, tidak didasarkan pada keyakinan agama, yang umumnya bersumber dari dunia Arab. Konsep dari Barat itulah yang kemudian diakomodasikan oleh sebagian besar negara (selain Arab, atau tepatnya hukum Islam) sebagai dasar yang sepenuhnya didasarkan pada pemikiran. Produk pemikiran yang didasarkan pada kondisi ruang dan waktu, dan berlangsung di sepanjang waktu, yang kemudian diakomodasikan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam bentuk konvensi yang harus ditaati oleh seluruh anggotanya.
Hak Atas Kebebasan dan Kesetaraan
Sisi yang dipandang sensitif dalam hal perlakuan terhadap individu adalah terjadinya pembatasan dan pilih kasih serta pandang sayang sebagaimana disampaikan di atas. Untuk inilah, setelah melalui waktu yang Panjang Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa dibuat, yang didasarkan kepada prinsip prinsip martabat dan kesederajatan yang melekat pada semua umat manusia dan bahwa Negara-negara Anggota telah berjanji untuk mengambil langkah-langkah secara bersamasama maupun sendiri dengan bekerja bersama Perserikatan Bangsa Bangsa guna mencapai salah satu tujuan Perserikatan Bangsa Bangsa yakni memajukan dan mendorong penghormatan dan pematuhan hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang dicetuskan pada tanggal 4 Januari 1949 memproklamasikan bahwa semua umat manusia dilahirkan dengan kebebasan dan kesederajatan dalam martabat dan hak-haknya serta bahwa semua orang berhak akan semua hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi tersebut tanpa perbedaan apapun juga, Khususnya ras, warna kulit atau pun asal usul kebangsaan.
Dengan menimbang bahwa semua umat manusia adalah sederajat di hadapan hokum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama terhadap segala bentuk diskriminasi dan segala bentuk hasutan yang menimbulkan diskriminasi.
Intinya bahwa keberadaan hambatan-hambatan ras merupakan suatu hal yang mengotori peri kehidupan ideal masyarakat manusia. Khawatir dengan berbagai manifestasi diskriminasi rasial yang nyata-nyata masih ada di beberapa kawasan dunia serta adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang berdasarkan kepada supremasi rasial atau kebencian, seperti apartheid, pengucilan atau pemisahan.
Memutuskan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna penghapusan dengan segera diskriminasi rasial adalah segala bentuk dan manifestasinya, serta mencegah dan memerangi doktrin-doktrin dan praktek-praktek rasis guna memajukan saling pengertian antar ras serta membangun masyarakat internasional yang bebas dari segala bentuk pengucilan rasial dan diskriminasi rasial. Negara para pihak sepakat menetapkan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 4 Januari 1949, sebagai hari yang diperingati sebagai Hari Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
Bagaimana Indonesia
Terjadinya berbagai peristiwa di tanah air akhir akhir ini, relevan kiranya sejenak menoleh kepada momentum hari penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial diaksud. Secara yuridis dari dokumen yang ada, tercatat Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini pada tanggal 25 Juni 1999. Inti dan sekaligus makna pengesahan dokumen PBB dimaksud, pda intinya bahwa terjadinya diskriminasi rasial pada dasarnya merupakan suatu penolakan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan mendasar.
Tidak jarang diskriminasi rasial terjadi karena dukungan Pemerintah melalui berbagai kebijakan diskriminasi rasial dalam bentuk apartheid, pemisahan dan pengucilan atau dukungan sebagian masyarakat dalam bentuk penyebaran doktrin-doktrin supremasi ras, warna kulit, keturunan, asal usul kebangsaan atau etnis. Oleh karena diskriminasi rasial menjadi musuh baik bagi masyarakat luas maupun masyarakat internasional maka harus dihapuskan dari peradaban umat manusia.
Mengacu kepada keinginan masyarakat internasional untuk menghapuskan diskriminasi rasial tersebut dijabarkan dalam United Nations Declaration on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial) yang diproklamasikan dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 November 1963, melalui Resolusi 1904 (XVIII). Deklarasi tersebut memuat penolakan terhadap diskriminasi rasial, penghentian segala bentuk diskriminasi rasial yang dilakukan oleh Pemerintah dan sebagian masyarakat, penghentian propaganda supremasi ras atau warna kulit tertentu dan langkah-langkah yang harus diambil oleh negara-negara dalam penghapusan diskriminasi rasial.
Namun demikian, karena deklarasi itu bersifat tidak mengikat secara hukum, maka Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa telah menyusun rancangan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang selanjutnya diajukan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa untuk disahkan. Perkembangan berikutnya, pada tanggal 21 Desember 1965 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa memberikan kekuatan hukum yang mengikat semangat penghapusan diskriminasi rasial dengan menerima Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 sepakat antara lain menghimbau negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa untuk secepatnya mengesahkan perangkat-perangkat internasional yang sangat penting di bidang HAM. Termasuk Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Sesuai dengan isi Deklarasi Wina 1993, Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 yang berisi kegiatan-kegiatan yang diprioritaskan dalam rangka memajukan dan melindungi HAM.
Prioritas pertama Rencana Aksi tersebut mencakup pengesahan tiga perangkat internasional di bidang HAM, termasuk Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan didorong oleh rasa tanggung jawab untuk memajukan dan menegakkan HAM dan pembangunan hukum di Indonesia, Pemerintah memutuskan untuk mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang telah diterima oleh masyarakat internasional sebagai salah satu perangkat internasional di bidang HAM yang sangat penting. Saat ini Konvensi telah disahkan oleh 151 (seratus lima puluh satu) negara.
Sesuai dengan ketentuan Konvensi, Indonesia menyatakan Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 22 Konvensi yang mengatur upaya penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan pelaksanaan Konvensi melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Sikap ini diambil antara lain atas pertimbangan bahwa Indonesia tidak mengakui yurisdiksi Mahkamah Internasional yang mengikat secara otomatis (compulsory jurisdiction). Pensyaratan tersebut bersifat prosedural sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Demikianah, pada akhirnya dengan ratifikasi ini Indonesia tunduk kepada hukum internasional Tentang Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang secara yuridis telah dituangkan dalam Undang Undang No. 29 Tahun 1999 tertanggal 25 Mei 1999. Pada hari peringatan ini, relevan kiranya mereduksi tindakan pemerintah kita terhadap warga negara dalam berbagai peistiwa, khususnya yang berhubungan dengan FPI.***