Refleksi 2020 ke 2021:
Literasi Wakil Rakyat merupakan kebutuhan khalayak dan sekaligus wakil rakyat. Tetapi kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi dengan optimal karena sedikitnya waktu yang dimiliki oleh wakil rakyat dan kurang dilibatkannya milenial untuk menulis secara independen tentang wakilnya.
Demikian kesimpulan dalam bincang Buku Virtual, Menyongsong Tahun 2021 yang melibatkan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah, Direktur Tiga Sekawan Footprint Research Linda Poernomo, Yuni Intarti pengajar dari Fisip-UI, budayawan Heryus Saputro, serta Afriadi Rosdi dari TKD Jkw-Ma, pada hari Rabu sore, 30 Desember 2020.
Acara dipandu oleh Widya Chalid pustakawan senior di Gedung wakil rakyat. Secara spesifik Hetifah dengan tegas menyatakan,” Literasi Wakil Rakyat sangat penting karena literasi wakil rakyat membantu rakyat mengenal sosok wakilnya lebih dekat. Literasi wakil rakyat juga merupakan sarana penyampaian kinerja, regulasi, anggaran dan program serta peran riil anggota dewan di masyarakat”.
“ Tapi keadaan saat ini masih banyak rakyat yang belum mengenal wakilnya. Rakyat Tidak mengetahui kinerja wakilya di Parlemen. Sedikitnya wakil rakyat yang menulis dan sedikitnya masyarakat yang menulis tentang peran kedewanan,” jelas Hetifah.
“Samentara keadaannya, banyak masyarakat yang memiliki persepsi negative tentang wakilnya. Dan banyak yang belum memiliki kedekatan emosional antara rakyat dengan wakilnya,” tambahnya.
Menurut Hetifah atas dasar itu sangat penting untuk meningkatkan literasi wakil rakyat, Caranya ?
“Kita berupaya mendukung keadaan yang mendorong lebih banyak Anggota Dewan untuk menulis; Lebih banyak Lembaga dan ormas tertarik untuk menulis peran Wakil rakyat.” Katanya.
“Dan yang tak kalah pentingnya kemauan memanfaatkan berbagai kanal terutama digital untuk publikasi lebih luas yang postif dan edukatif,” tambah Hetifah, Wakil Keua Komisi X DPR RI.
Sementara itu Direktur TSFR, Linda Poernomo, sepakat dengan apa yang disampaikan Wakil Ketua Komisi X. Ia berpendapat di tangan para peneliti muda dan penulis muda yang jeli dan kritis ada tiga varian yang bisa digali tiada habisnya untuk djadikan sebuah buku.
“ Ketiga varian itu adalah Legislasi, Anggaran dan Pengawasan,” ujar Linda Poernomo.
“Saya bilang tiada habisnya karena setiap waktu dalam satu periode keanggotaannya, seorang Anggota Dewan bersama partner kerjanya membahas beragam substansi legislasi, melakukan beragam pengawasan dan berhubungan dengan angka-angka juga. “ tutur Linda Poernomo yang juga Direktur Pascasarjana Universitas Sahid menambahkan.
Linda mengutarakan salah satu buku yang digarapnya bersama Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI, berjudul Save People Care For Economy, substansinya pengawasan dikaitkan dengan keadaan aktual yang tengah terjadi yakni pandemi.
Dokumentasi substansi ini tersedia luas di berbagai media ketika melakukan riset dengan cermat dan merangkainya sebagai publikasi yang layak. Kemudian dilengkapi dengan ketersediaan Bahasa yang mendunia. Sehingga kata Linda dunia pun tahu upaya apa saja yang juga kita telah lakukan demi kemashlahatan rakyat.
Linda menuturkan dengan detail bahwa Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bekerja sama dengan Tiga Sekawan Footprint Research meluncurkan buku ‘Save People Care for Economy’, yang dicetak dan diterbitkan secara internasional oleh Amazon. Buku yang tersedia secara bilingual tersebut bercerita memotret beragam pemikiran Bamsoet tentang penanggulangan pandemi COVID-19 di Indonesia.
“Sejak awal mulai kemunculan pandemi, Indonesia tidak memilih jalan lockdown sebagaimana banyak dilakukan negara lainnya. Mengingat kultur budaya, kondisi sosial-ekonomi, serta berbagai pertimbangan lainnya, Indonesia memilih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Plus minus antara lockdown dengan PSBB, hingga pro kontra yang menyelimuti keduanya, banyak dikupas dalam buku ini,” ujar Bamsoet dalam keterangannya.
Bamsoet menjelaskan langkah untuk memasarkan buku secara internasional agar masyarakat dunia bisa memahami bagaimana cara Indonesia menangani pandemi COVID-19. menjelaskan langkah untuk memasarkan buku secara internasional agar masyarakat dunia bisa memahami bagaimana cara Indonesia menangani pandemi COVID-19. Dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 dunia yang mencapai 268 juta jiwa, serta kondisi geografis negara kepulauan, penanganan pandemi COVID-19 yang dilakukan Indonesia tentu memiliki perbedaan dan ciri khas dibanding negara lainnya.
Bamsoet pun menuturkan selain pada kebijakan protokol kesehatan dan pemberian stimulus perekonomian yang dilakukan oleh pemerintah, ciri khas penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia juga terletak pada semangat gotong royong warga.
Bamsoet mengutarakan alasan lain dirinya menerbitkan buku secara internasional tak lain juga untuk memberikan motivasi kepada para penulis muda Indonesia untuk mengikuti jalan serupa. Seiring kemajuan teknologi informasi, sebetulnya turut membantu para penulis menembus pasar internasional yang kuncinya terletak pada kemauan.
Menurutnya tak sedikit penulis muda Indonesia yang memiliki karya luar biasa, namun tak berani menembus pasar internasional karena berbagai kekhawatiran. Seperti belum percaya diri, hingga takut tidak mendapat sambutan hangat dari pasar internasional.
“Padahal, semua kekhawatiran tersebut belum tentu akan terjadi. Karena itu, yang terpenting adalah mencoba. Mari banjiri dunia buku internasional dengan berbagai karya penulis Indonesia,” pungkas Bamsoet.
Menyambut ajakan Bamsoet itu Linda Poernomo , Yuni Intarti dosen Fisip UI juga Heryus Saputra melihatnya sebagai suatu hal yang menarik . Buku-buku yang demikian apabila kedatangan tamu negara lain juga bisa menjadi cendera mata yang jauh lebih bermanfaat. Variatif, informatif dan aktual. (roos)