Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
Berhenti sejenak dari hiruk pikuk interaksisosial yang menyebabkan muncunya konflik berkepanjangan tiada henti. Soal Pilkada yang sampai pada tahap dilakukan pemungutan suara, soal Imam Besar Habib Riziq Sihab (IB-HRS) yang masih terus dikembangkan berbagai sisi yang didasarkan pada peristiwa penembakan terhadap para pengawaalnya, dan tentang pandemi korona yang masih belum usai. Setiap tanggal 10 Desember, diperingati sbagai hari Hak Asasi Manusia.
Dari semua peristiwa itu, sedikit atau banyak, besar atau kecil senantiasa terkait dengan Hak Asasi Manusia HAM). Yang secara konseptual adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. Hak Asasi Manusia berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut. Hak Asasi Manusia juga tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. Hak Asasi Manusia biasanya dialamatkan kepada negara, atau dalam kata lain, negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia, termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh swasta.
Dalam terminologi modern, Hak Asasi Manusia dapat digolongkan menjadi hak sipil dan politik yang berkenaan dengan kebebasan sipil (misalnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan kebebasan berpendapat), serta hak ekonomi, sosial, dan budaya yang berkaitan dengan akses ke barang publik (seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, atau hak atas perumahan).
Konseptualisasi HAM
Secara konseptual, Hak Asasi Manusia dapat dilandaskan pada keyakinan bahwa hak tersebut “dianugerahkan secara alamiah” oleh alam semesta, Tuhan, atau nalar. Sementara itu, mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah meyakini bahwa Hak Asasi Manusia merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat.
Ada pula yang menganggap HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat yang sama juga terdapat kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia hanya ada karena manusia mencetuskan dan membicarakan konsep tersebut.
Dari sudut pandang hukum internasional, Hak Asasi Manusia sendiri dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Pembatasan biasanya harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah, dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis. Sementara itu, pengurangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat yang mengancam “kehidupan bangsa”, dan pecahnya perang pun belum mencukupi syarat ini.
Selama perang, hukum kemanusiaan internasional berlaku sebagai lex specialis. Walaupun begitu, sejumlah hak tetap tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apapun, seperti hak untuk bebas dari perbudakan maupun penyiksaan. Dalam kaitan ini, masyarakat kuno tidak mengenal konsep Hak Asasi Manusia universal seperti halnya masyarakat modern. Pelopor sebenarnya dari wacana Hak Asasi Manusia adalah konsep hak kodrati yang dikembangkan pada Abad Pencerahan, yang kemudian memengaruhi wacana politik selama Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis. Konsep Hak Asasi Manusia modern muncul pada paruh kedua abad kedua puluh, terutama setelah dirumuskannya Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (PUHAM) di Paris pada tahun 1948.
Semenjak itu, Hak Asasi Manusia telah mengalami perkembangan yang pesat dan menjadi semacam kode etik yang diterima dan ditegakkan secara global.
Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di tingkat internasional diawasi oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan badan-badan traktat PBB seperti Komite Hak Asasi Manusia PBB dan Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, sementara di tingkat regional, Hak Asasi Manusia ditegakkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika, serta Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk Afrika. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) sendiri telah diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia saat ini.
HAM di Indonesia
Penanganan maalah HAM di Idionesia secara umum dilakukan oleh Komnas HAM. Dari catatan Lembaga dimaksud, khususnya dalam kaitannya dengan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia pada 2019 belum mengalami kemajuan yang berarti. Berbagai komitmen dan agenda perbaikan kondisi HAM yang dimandatkan Nawacita, Rencana Pembangunan Jangka Mengengah Nasional (RPJMN), dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) belum menunjukkan pencapaian yang signifikan.
Nampaknya secara sederhana auntuk tahun 2020 ini pun keadaannya masih belum menunjukkan tanda npeningkatan dalam hal nilai positif untuk penegakannya. Pengamatan kasat mata, masih banyak peraturan yang tidak diimbangi dengan penguatan kebijakan perlindungan HAM dan sosial. Eksisnya regulasi yang tidak sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia, termasuk yang mendasar adalah lemahnya kemampuan institusi negara dalam hal penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Demikian pula masih rendahnya kepatuhan hukum dan budaya aparat dalam penghormatan dan perlindungan HAM, menjadi catatan penegakan HAM yang memerlukan perhatian khusus. Termasuk masih minimnya pemahaman aparat negara pada pendekatan dan prinsip Hak Asasi Manusia, juga masih menjadi kenda.
Berdasarkan catatan yang terpubliksikan oleh Komnas HAM Indonesia, catatan penegakan Hak Asasi Manusia pada 2019 yang diterima oleh Komnas HAM. Sepanjang 2019, Komnas HAM menerima 2.757 (dua ribu tujuh ratus lima puluh tujuh) aduan yang datang dari seluruh Indonesia. Wilayah terbanyak pengadu datang dari DKI Jakarta, Sumatera Utara dan Jawa Timur dengan isu yang paling banyak diadukan adalah hak atas kesejahteraan terkait sengketa lahan, sengketa ketenagakerjaan, serta kepegawaian.
Hal di atas mengacu pada tahun-tahun sebelumnya, lembaga yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM adalah kepolisian. Namun, jumlah aduan terkait kepolisian dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Komnas HAM juga memberikan perhatian khusus untuk isu-isu yang dianggap penting bagi masa depan demokrasi dan Hak Asasi Manusia seperti penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, konflik agraria, intoleransi, dan lain-lain.
Pada perspektif pandemi korona, situasi penegakan, perlindungan, penghormatan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia belum banyak berubah. Komnas HAM masih banyak menerima aduan terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia, juga kebebasan sipil dalam berpendapat dan berekspresi selama masa pandemi korona. Bahwa selain penanganan pandemi korona, secarta teknis menunjukkan masih rendahnya koordinasi antar kementerian dan lembaga juga menimbulkan kerugian di masyarakat. Dalam pandangan HAM Indonesia, sampai saat ini belum ada tanda-tanda menggembirakan dari penanganan pandemi korona yang faktanya menunjukkan perkembangan yang terus meningkat.
Pada perspektif peningkatan kualitas demokrasi, baru saja dilaksanakan Pilkada serentak 2020. Kepastiannya, terkait dengan penanganan HAM bahwa untuk sementara dinilai bahwa banyak politisasi anggaran negara yang mengatasnamakan Pilkada sehingga Hak Asasi Manusia terabaikan, sehingga secara umum terjadi degradasi penanganan dan penegakan HAM di tanah air.***