Jakarta, koranpelita.com
Penyalahguna narkotika merupakan penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika dan gangguan mental kejiwaan. Mereka adalah
korban kejahatan narkotika tidak rasional jika dikatakan sebagai pelaku kejahatan.
Bahkan tidak adil kalau dalam proses peradilan pidana dan dijatuhi hukuman penjara. Sebagai penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika dan ganguan mental kejiwaan, mereka harus disembuhkan atau dipulihkan melalui proses Rehabilitasi. Bukan dijebloskan dalam penjara.
Hal itu dikatakan mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen (Purn) Dr. Anang Iskandar, SH, MH dalam bukunya Politik Hukum Narkotika. “Penyalahgunaan narkoba, itu korban, bukan penjahat. Mereka harus disembuhkan, kenapa dijebloskan ke dalam penjara,” kata Anang di Jakarta, Minggu (4/10).
Apakah pemerintah, khususnya hakim mengganggap bahwa penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika bisa sembuh dan pulih seperti sedia kala kalau di penjara?
Ataukah pemerintah, khususnya hakim tidak memiliki payung hukum dalam rangka Justice for Health?. “Ini perlu dipertanyakan,” ujar mantan Kabareskrim Polri itu.
Ataukah pemerintah khususnya hakim menganggap penyalah guna dipenjara lebih baik dari pada direhabilitasi. Kalau ini benar untuk apa pemerintah membuat program wajib lapor pecandu barang haram itu. Tahukah kalau pecandu itu adalah penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan.
Menurut catatan Anang selaku pengamat sekaligus pakar dibidang narkotika, UU no 8 tahun 1976, tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika beserta protokol yang mengubahnya dan sampai sekarang ini masih berlaku memberi alternatif hukuman kepada penyalahguna narkotika berupa hukuman rehabilitasi.
UU Narkotika yang berlaku sekarang ini dibuat atas dasar UU no 8 tahun 1976. Di dalamnya disebutkan, rehabilitasi sebagai bentuk hukuman (pasal 103/2), di samping rehabilitasi sebagai proses penyembuhan/pemulihan.
Hakim diberi kewenangan dapat menghukum rehabilitasi (pasal 103) dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika dan diberi serangkaian kewajiban (pasal 127/2). Agar dapat menjamin penyalahguna Direhabilitasi, sesuai tujuan UU narkotika (pasal 4).
Namun prakteknya, hakim tidak menggunakan bentuk hukuman rehabilitasi sebagai alternatif hukuman terpilih yang dibangun oleh UU no 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Hakim juga tidak melaksanakan kewajiban kewajiban hukum dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika sesuai pasal 127/2. Hakim dapat menggunakan kewenangan berdasakan pasal 103 yaitu, kewenangan dapat memutuskan dan menetapkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi, baik terbukti salah maupun tidak terbukti salah.
Dijelaskan Dr. Anang Iskandar, penyalahguna narkotika berdasarkan ilmu kesehatan adalah penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika dan gangguan mental kejiwaan. Maka, penyalahguna tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Tetapi berdasarkan konvensi harus dilarang dan masuk yuridiksi hukum pidana.
Konsekwensi logisnya, maka hukum pidana narkotika menjadikan rehabilitasi sebagai bentuk hukuman alternatif terpilih bagi penyalah guna narkotika. “Rehabilitasi sebagai bentuk hukuman, lebih tepat bagi penyalah guna dari pada dipenjara,” tegasnya.(Tgk)