Sebelum kemerdekaan, tepatnya di bulan Mei 1920 di Semarang, Partai Komunis Indonesia (PKI) dibentuk. Tahun 1925, Komite Exec dari Komintern dalam rapat pleno memerintahkan komunis di Indonesia untuk membentuk sebuah front anti-imperialis bersatu dengan organisasi nasionalis non-komunis. Tetapi unsur-unsur ekstremis yang didominasi oleh Alimin dan Musso menyerukan revolusi untuk menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda. Penjajah Belanda kemudian melarang berdirinya PKI pada 23 Maret 1928. Setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, tepatnya di bulan Oktober 1945, PKI kembali berdiri. Tidak sekadar berdiri, karena tujuannya ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Soviet Republik Indonesia.
Oleh: Dasman Djamaluddin
Wartawan Senior tinggal di Jakarta
Saya mendapat cerita dari Joesoef Isak. Ia mantan Pemimpin Redaksi Harian Merdeka yang untuk sementara menggantikan Burhanudin Mohamad (BM) Diah. Ketika itu, BM DIah ditugaskan sebagai Duta Besar Indonesia untuk Muangthai (Thailand). Cerita itu, juga pernah saya tulis di Kompasiana.
Saat saya temu di rumahnya tahun 2009, Joesoef Isak mengakui, dirinya dituduh sebagai wartawan yang condong mendukung PKI. Karena tuduhan PKI ini, ia pernah dipenjara selama 10 tahun di Penjara Salemba.
Dalam perbincangan yang hangat itu, saya mendapata banyak cerita dari Joesoef Isak. Termasuk, di awal ngobrol-ngobrol, ia memulainya dengan kisah berdirinya Harian Merdeka.
Pada 29 September 1945, begitu kenangnya, pagi masih sekitar pukul sembilan. BM Diah menemui Frans Soemarto Mendur dan Yep Kamsar, dua temannya yang pernah menjadi tukang setting dan korektor koran Asia Raya. Namun Diah tutup mulut ketika ditanya ke mana tujuan mereka.
Di tempat lain, Rosihan Anwar bersama Dal Bassa Pulungan sudah diberi isyarat. Keduanya juga berjanji akan membantu.
Diah sengaja melakukan aksi tutup, mengingat ia sendiri tahu betapa nekat apa yang akan dilakukan. Bahkan untuk berjaga-jaga, BM Diah menyelipkan sepucuk revolver di saku celananya.
Bersama Frans Mendur dan Yep Kamsar, Diah menuju Molenvliet (nama lama untuk Jalan Hayam Wuruk) di mana terdapat gedung percetakan De Unie. Ia memimpin masuk ke ruang direksi Djawa Shimbun.
Dalam benaknya, ada keyakinan bahwa bangsa yang sudah kalah perang seperti Jepang, pasti tak punya semangat lagi untuk meneruskan perang. Maka ia berani saja melakukan tindakan nekat. Dan, benar. Yang ia hadapi tak semengerikan bayangannya. Revolver di kantongnya, jangankan dipakai, bahkan tak pernah dikeluarkan.
Orang-orang Jepang itu, seolah tak peduli, menyerahkan percetakan kepada mereka tanpa perlawanan sedikit pun. Pada hari itulah mereka menjadi pemilik percetakan “Atas Nama Republik Indonesia”.
Keesokan harinya mereka mulai bekerja, mempersiapkan beberapa tulisan. Nama Merdeka dipilih, mengingat menjadi salam nasional. Bentuk huruf dirancang dan mereka kemudian mempergunakan jenis huruf Wiwosch yang dicetak dengan tinta merah. Sepanjang umur Harian Merdeka, jenis huruf itu tetap dipertahankan.
Kebetulan waktu itu di gedung De Unie masih ada persediaan kertas yang banyak, cukup untuk enam bulan.
Beberapa tulisan yang sudah di-setting dicetak pada hari itu. Siang-siang. Lembar pertama dibaca beramai-ramai, dan korektor mulai membaca proefdruk untuk mengoreksi berita yang salah ketik.
Mesin berputar lagi, diiringi suara sorak-sorai orang-orang nekat yang menggema penuh kegembiraan. Sore, 1 Oktober 1945 akhirnya koran itu beredar, meski cuma empat halaman.
Namun cerita riang itu tak berumur panjang. Jepang pergi, tapi Sekutu datang. Tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger, Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda) dengan seragam NICA (Nederlands Indies Civil Administration atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) datang bersama tentara Inggris. Mereka, memenuhi kota dan mempersempit ruang gerak, termasuk para wartawan di koran Merdeka.
Di sana-sini, di pelosok-pelosok jalan, tampak tentara-tentara NICA siap menahan atau menginterograsi orang-orang yang dicurigai. Yang paling mengerikan adalah ketika suatu hari kantor Merdeka diserbu segerombolan anak-anak muda NICA. Mereka berlarian di kantor yang luas tersebut sambil menembak ke sana-ke mari. Memang tak ada yang tertembak, tapi sudah cukup membuat orang nyaris semaput.
Waktu berlalu, rutinitas yang kadang masih terselip hati berdebar, ada beberapa perubahan besar. Terutama setelah kedatangan wartawan-wartawan asing serta perkenalan dengan seorang kapten asal Gurkha bernama Sen Grupta. Ia senang nongkrong di kantor Merdeka, sehingga koran perjuangan ini tak pernah diganggu lagi.
Begitulah. Pembicaraan saya dengan Joesoef Isak itu, terjadi di rumahnya di bulan Juli 2009. Saya waktu itu sebagai Redaktur Senior Majalah Biografi Politik. Berkunjung ke rumah Joesoef Isak, yang pernah diangkat B.M. Diah sebagai Pemimpin Redaksi Harian Merdeka.
Saat itu, ia bercerita panjang lebar tentang perkenalannya dengan BM Diah hingga ia dipecat. Masalah pecat memecat, memang sangat sering terjadi di Harian Merdeka, meski beberapa orang berjasa besar terhadap surat kabar itu.
“Orang boleh saja bekerja di Harian ‘Merdeka’. Boleh saja menjadi Pemimpin Redaksi seperti saya. Tetapi Pemimpin Redaksi sebenarnya adalah B.M. Diah,” kata Joesoef Isak tentang kebiasaan pecat-pecatan di Merdeka.
Sebagai pribadi, Isak sosok menarik. Cara berceritanya juga membuat orang betah berlama-lama menjadi pendengarnya. Ia perokok berat. Ketika berbicara dengan saya, tangannya tidak lepas memegangi rokok, berganti-ganti jika sebatang telah habis.
Saya bertemu pada bulan Juli 2009. Itu merupakan pertemuan pertama dan terakhir, karena sebulan setelah saya bertemu, tepatnya 15 Agustus 2009, ia meninggal dunia di usia 81 tahun.
Joesoef Isak lahir dari seorang ayah yang bekerja sebagai pegawai kantor pos, Keluarganya berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Terdidik dalam sistem kolonial Belanda, Isak tidak berbicara bahasa Indonesia sebagai seorang pemuda, tetapi kemudian menjadi pendukung bahasa tersebut. Pada tahun 2005, Isak menerima Keneally Award dari masyarakat Australia untuk karyanya.
Selain dikenal sebagai wartawan, ia seorang penerbit Indonesia, penerjemah, dan intelektual sayap kiri. Dia adalah seorang penganjur kebebasan berbicara selama pemerintahan Presiden Soeharto, dan dipenjarakan selama 1967-1977 tanpa pengadilan.
Sebagai koran perjuangan, Harian Merdeka sangar menentang PKI Sejak lahir, memiliki visi dan garis politik yang jelas. Landasannya, Republik Indonesia, Pancasila, dan UUD ’45. Itu sebabnya, BM Diah dikenal dekat Bung Karno, meski melalui tulisannya di Merdeka, Diah tak segan-segan menyerang politik Bung Karno.
Pada tahun 1964, melalui tulisannya, Diah menyerang politik PKI. Ini menimbulkan kemarahan PKI. Polemik pun tak terhindarkan, antara Harian Merdeka dengan Harian Rakyat milik PKI. Tujuan pokok Diah, menurut Roeslan Abdoelgani, adalah memancing musang. “Ada musang srigala yang bersembunyi. Biarkan dia keluar.”
PKI yang disebut Diah “musang srigala yang bersembunyi dalam selimut UUD ’45,” terpaksa keluar dan melakukan kudeta pada 30 September 1965.(*)