Pancasila Harus Menjadi Paradigma Dalam Merancang Tata Kelola Negara 

Jakarta,Koranpelita.com

Pendiri bangsa sesungguhnya telah merancang sistem ketatanegaraan yang tepat bagi Indonesia sejak awal berdirinya negara ini. Sistem yang dipilih adalah sistem yang khas Indonesia, bukan sistem presidensial atau parlementer yang saat itu sudah berlaku secara universal. Sistem tersebut disebut sebagai ‘sistem sendiri’ dalam bangunan negara Pancasila.

“Tetapi dalam perjalanan sejarah bangsa, sistem ketatanegaraan Indonesia terus mengalami perubahan dari generasi ke generasi mulai dari sistem demokrasi terpimpin, sistem Pancasila, sistem parlementer, orde lama, orde baru hingga era reformasi,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowosaat menyampaikan sambutannya dalam Diskusi Publik dengan topik Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan untuk Konsolidasi Demokrasi Indonesia Jumat (28/8/2020), yang diadakan secara virtua.

Pontjo melanjutkan, bahwa rekonstruksi dan konsolidasi sistem ketatanegaraan tersebut dilakukan dengan tujuan agar bangsa Indonesia tetap eksis menyesuaikan situasi dan perkembangan yang ada. Sebenarnya sejak awal kemerdekaan para pendiri bangsa telah berusaha membangun sistem ketatanegaraan yang diharapkan fit bagi Indonesiaan.

Saat ini lanjutnya, sistem ketatanegaraan Indonesia yang hendak dibangun dan dikembangkan tentu tidak bisa dipisahkan dari Pancasila sebagai ideologi atau jalan hidup berbangsa dan bernegara yang secara yuridis-konstitusional sudah diterima dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945 sebagai filsafat dan ideologi negara. “Karena itu, nilai-nilai Pancasila haruslah menjadi paradigma dalam merancang tata kelola negara atau sistem ketatanegaraan Indonesia,” tegas Pontjo.

Dalam diskusi yang menghadirkan narasumber dosen Politik UI Andrianof Chaniago, Guru Besar Hukum Tata Negara UI Prof Dr Satya Arinanto, pakar Hukum Tata Negara Prof Dr Jumly Asshiddiqie, Pengurus Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Dr Diana Fawzi, pakar dari Aliansi Kebangsaan Yudi Latif, dan Prof Dr Amany Lubis dari FRI.

Berdasarkan paradigma Pancasila, lanjut Pontjo, pengembangan ranah institusi sosial politik (tata kelola negara) diarahkan untuk memungkinkan perwujudan bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan nilai utamanya berlandaskan sila keempat.

Bahwa tatanan sosial politik hendaknya dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi kenegaraan yng dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan).

Hal-hal tersebut termanifestasi dalam kehadiran pemerintah negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan.

Untuk meralisasikan cita-cita tersebut, jelas Pontjo, tentu model dan sistem kelembagaan tata kelola negara tidak bisa dipungut sembarangan dari pengalaman negara-negara lain. Tetapi kita harus menyuling dari pengalaman kesejarahan dan budaya bangsa sendiri.

Hal ini diperkuat dengan pendapat Clayton M Christenson (2019) yang dikutip Yudi Latif dalam bukunya berjudul Wawasan Pancasila (2020). Bahwa institusi sosial itu merefleksikan nilai masyarakat yang bersangkutan. Karenanya, membangun institusi yang kuat tidaklah sesederhana ‘mengekspor’ apa yang bisa berjalan di suatu tempat ke tempat lain.

Wakil Ketua FRI Nasrullah Yusuf mengatakan, dinamika ketatanegaraan bangsa, dialami tidak hanya oleh Indonesia. Tetapi semua negara di dunia baik yang sudah mapan atau belum mapan, membicarakan apakah tata negara yang dianutnya sudah baik atau belum, sudah stabil atau belum. Termasuk Amerika Serikat, sebuah negara dengan sistem politiknya yang sudah relatif stabil ratusan tahun, tetap terbuka untuk membicarakan ketatanegaraannya.

“Rekonstruksi sistem ketatanegaraan terus berlangsung hingga sekarang. Bahkan lahirnya era reformasi adalah bagian dari dinamika sistem ketatanegaraan Indonesia,” katanya seraya mengingatkan rekonstruksi sistem ketatanegaraan harus tetap dikawal agar tidak menyimpang dari empat pilar yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Kebihinekaan.

Diungkapkannya, sampai saat ini kita selalu  perdebatan bahkan seringkali mengalami kebuntuan politik dalam mencari format yang tepat tentang sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan corak hidup, budaya dan kondisi obyektif bangsa.

Sementara itu, Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago menvatakan, tingga saat ini rekonstruksi sistem ketatanegaraan Indonesia masih terus berlangsung. Bahkan, lahirnya reformasi bagian dari dinamika sistem ketatanegaraan Indonesia. Sayangnya, sistem ketatanegaraan yang telah dirancang oleh para pendiri bangsa sudah menyimpang dari cita-cita awalnya berdiri negara Indonesia.

Penyimpangan makna politik terjadi karena apa yang dipraktekan para elite politik semakin jauh dari asal-usul negara dibentuk,” jelas Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago dalam diskusi publik virtual bertema, “Rekontruksi Sistem Ketatanegaraan untuk Konsolidasi Demokrasi,” jelasnya.

Dia menjelaskan, penyimpangan makna politik yang tampak adalah politik saat ini berlaku sebagai cara untuk mendapatkan, mempertahankan dan merebut kembali kekuasaan yang ada di alam pikir para elite politik. Sehingga negara menjadi tempat dan fasilitas dalam penyimpangan tersebut untuk menikmati kekuasaan.

“Seharusnya, elite politik dapat membangun budaya demokrasi yang adil dan beradab dengan menegakkan etika politik. Sehingga para elite politik bisa lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara,” imbuhnya. (Vin)

About ervin nur astuti

Check Also

Maximus Tipagau : Banyaknya Potensi Untuk Menjadikan Mimika Sebagai Kota Percontohan di Tanah Papua

Jakarta, Koranpelita.com Mewujudkan Mimika bersatu, berdaya saing, sejahterah, dan pembangunan yang berkelanjutan itulah visi dari …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca