Oleh Prof. DR. Siti Zuhro, MA
Setelah 75 tahun merdeka, pekerjaan rumah yang harus dikerjakan Indonesia semakin berat dan kompleks.
Silih bergantinya rezim sejak orde lama, orde baru sampai orde reformasi belum mampu membuahkan bangunan Indonesia yang kokoh sebagaimana diharapkan para pendiri bangsa dan sesuai dengan empat konsensus dasar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika).
Bahkan perkembangan sejak 1998 sampai 2020 membuat kita makin prihatin: quo vadis Indonesia? Pertanyaan ini relevan disampaikan karena belakangan ini muncul beberapa fenomea krusial terkait masalah kebhinekaan dan keindonesiaan.
Beberapa isu terkait hal tersebut adalah kohesi sosial, masalah primordialisme, keadilan ekonomi dan keadilan hukum, keadaban/moral publik dan daya saing bangsa.
Suatu masalah serius bagi bangsa Indonesia dewasa ini adalah adanya fenomena terkoyaknya kohesi sosial dalam masyarakat. Hal ini ditandai, antara lain oleh berkembangnya rasa saling tidak percaya, saling tidak menghormati, saling curiga, dan saling mencermati di antara kelompok dalam masyarakat.
Ada empat elemen yang tidak dapat dipisahkan terkait munculnya disharmoni yang mengarah kepada konflik sosial. Keempat elemen ini secara garis besar merupakan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) berupa: (a) kesetaraan tanpa adanya diskriminasi; (b) harkat dan martabat dijunjung tinggi; (c) komitmen untuk berpartisipasi; dan (d) kebebasan individu terkait pengembangan diri.
Keempat hal tersebut saling terkait dan saling tergantung satu sama lain. Karena itu, untuk mewujudkan kohesi sosial yang didasari oleh kesejahteraan masyarakat diperlukan keseimbangan terkait keempat unsur tersebut. Hal itu harus mendapat perhatian khusus untuk diatasi agar tidak makin meluas dan makin terkoyak.
Bangsa Indonesia yang majemuk sebenarnya sudah secara relatif membangun persatuan dan kebersamaan. Sekat kultural antarumat berbagai agama, masyarakat berbagai suku, sudah dapat diatasi, dan rasa kebangsaan juga sudah dapat dibangun. Politik aliran yang sejak awal kemerdekaan menjadi warna perbedaan politik sudah relatif mencair di antara berbagai macam partai politik.
Namun akhir-akhir ini, egosentrisme atau primordialisme keagamaan, kesukuan, kesamaan kepentingan politik, dan kepentingan bisnis-ekonomi mengemuka dalam bentuk fanatisme, radikalisme, dan ekstremisme yang terjadi di semua lini.
Hal ini sebenarnya dipicu oleh kesenjangan sosial-ekonomi, dan absennya budaya politik, di mana pemenang mengambil semua (the winner takes all) sehingga pola rekrutmen politik bersifat eksklusif (bukan berdasarkan merit system) dan kepemimpinan politik tidak berada di atas untuk semua kelompok.
Hal ini kalau dibiarkan akan mendorong menguatnya egosentrisme atau bangkitnya primordialisme yang dampaknya sangat negative dan mengancam persatuang nasional.
Lepas dari itu, ketidakadilan ekonomi sangat terasa pada dunia bisnis. Sembilan puluh tujuh persen lebih pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM, namun akses UMKM terhadap Lembaga Keuangan formal hanya 30%.
Sementara itu, usaha besar yang jumlahnya kurang dari 3% menguasai akses permodalan hingga 70%. Di sisi lain, ketimpangan sangat signifikan ketika 1% orang terkaya menguasai 46,6% total kekayaan penduduk. Dan 10% orang terkaya menguasai 75,3% total kekayaan seluruh rakyat.
Ketimpangan juga terjadi, ketika 70% bahan baku perekonomian adalah produk impor. Kedua fenomena tersebut merupakan salah satu faktor utama lahirnya ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi yang memicu berbagai konflik, ketegangan dan depresi sosial ekonomi di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini semua telah mendorong terjadinya kekerasan pemodal (capital violence) dan intrusi politiknya yang mendorong munculnya resistensi politik.
Pemerintah seharusnya menjadikan UMKM sebagai anak emas, baik dalam jargon maupun realitasnya. UMKM harus menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, bukan sebagai pelengkap. Produk UMKM Indonesia harus menjadi primadona atas produk impor agar memberi kemanfaatan yang luas kepada rakyat.
Penyakit ketidakadilan yang memicu berbagai abnormalitas sosial ekonomi, harus diatasi secara substantif, bukan kebijakan yang kontroversial seperti UU 2 tahun 2020 yang banyak ditentang dan ditolak publik karena dinilai merugikan rakyat.
Sementara itu, kehidupan masyarakat kita belakangan ini dipenuhi oleh tiadanya keadaban publik. Masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang sopan santun, ramah tamah dan penuh keadaban sekarang ini sebagian terjebak ke dalam perilaku yang cenderung menggunakan cara-cara kekerasan dan bentuk-bentuk ketidakadaban lainnya.
Hal ini ditandai dengan adanya persekusi oleh sekelompok orang terhadap lainnya, kriminalisasi lawan politik, pembegalan di jalan raya, dan bahkan ketakadaban menguasai ruang publik di media sosial dan ruang-ruang dialog televisi.
Pasca pemilu 2019 menyisakan keterbelahan masyarakat, saling hujat menghujat dan saling mencerca yang bersifat pribadi dan saling membenci. Nilai-nilai etika telah tercerabut dari akar budaya politik yang telah diajarkan oleh para guru bangsa. Bila hal ini dibiarkan maka kita akan menyaksikan hilangnya keadaban publik.
Dua tahun terakhir ini masalah penegakan hukum untuk kepastian dan keadilan hukum menjadi masalah serius. Hukum cenderung tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hal tersebut ditandai, antara lain, oleh kasus-kasus hukum berskala besar dan melibatkan elit politik yang nyaris tak tersentuh, bahkan, dilupakan.
Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi, umpamanya, sering bersifat tebang pilih. Banyak kasus besar yang nyaris lenyap. Sementara itu, kasus-kasus dugaan korupsi kecil menjadi incaran.
Di sisi lain, pembentukan hukum banyak yang menyimpang dari konstitusi karena dipengaruhi oleh kekuatan politik, modal, dan premanisme. Jika kecenderungan ini berlanjut, Indonesia akan gagal mesebagai negara hukum.
Isu moral merupakan masalah mendasar di tubuh bangsa yaitu dengan adanya pelanggaran moral oleh kaum terdidik sekalipun. Banyak kaum terdidik terjerat masalah hukum, terutama tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan oleh minimnya penekanan nilai moral dalam proses pendidikan, sistem demokrasi dengan politik berbiaya tinggi (high cost politics), serta lemahnya pengawasan dan keteladanan. Realitas ini menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing bangsa.
Tahun 2045 diharapkan menjadi tahun keemasan (golden age) bagi Indonesia. Pada saat itu Indonesia diharapkan menjadi negara maju dan berdaya saing tinggi. Sayangnya saat ini daya saing bangsa Indonesia masih rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM Indonesia. Tingkat pendidikan Indonesia masih 8 tahun dan pendidikan masyarakat Indonesia masih 60% berpendidikan rendah, 25% pendidikan menengah, 15 % pendidikan tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia memengaruhi daya saing bangsa.
Selama 2019 sangat terasa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terbelah selama pilpres. Bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara nyaris tanpa henti dihujani slogan-slogan dan diksi-diksi politik yang negatif, tidak etis dan sarkastik yang merugikan publik. Elemen-elemen bangsa seolah tak berdaya, larut dan terlibat dalam kondisi tersebut. Makna pemilu cenderung disempitkan semata-mata untuk suksesi dan mempertahankan status quo saja.
Cinta NKRI, cinta Pancasila, bhineka tunggal ika harus menjadi komitmen bersama. Hal tersebut akan dirasakan dengan benar apabila negara hadir dalam melindungi rakyatnya. Pancasila harus diwujudkan dalam kebijakan negara di semua lini kehidupan.
Atas dasar itu intelektual/akademisi/ilmuwan sosial Indonesia secara kolektif perlu menyerukan pentingnya kembali pada cita-cita luhur bangsa Indonesia. NKRI milik bersama dan untuk bersama. (Penulis Peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI.)