Hari Keadilan Internasional dan Indonesia Diharapkan Meratifikasi Statuta Roma

_Oleh Dasman Djamaluddin_

Hari ini, tanggal 17 Juli 2020, masyarakat internasional memperingati Hari Keadilan Internasional atau “World Day for International Justice.”

Penetapan Hari Keadilan Internasional diangkat dari Statuta Roma oleh komunitas internasional pada 17 Juli 1998.

Pada 17 Juli 1998, terjadi penandatanganan Statuta Roma di sebuah konferensi diplomatik internasional di Roma, Italia.

Konferensi tersebut dihadiri oleh perwakilan dari 160 negara.

Dari konferensi tersebut kemudian terbentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).

Statuta Roma ini fokus terhadap peradilan kejahatan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan kejahatan agresi.

Statuta Roma merupakan sebuah perjanjian internasional yang penting dalam sejarah peradaban manusia.

Proses peradilan terhadap keempat bentuk kejahatan internasional tersebut kemudian dimandatkan kepada Mahkamah Pidana Internasional.

Sifat dari Statuta Roma ini mengikat, namun pelaksanaan masih dibatasi oleh beberapa klausul.

Klausul pertama, Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat melakukan investigasi dan proses peradilan terhadap negara yang secara legal meratifikasi Statuta Roma.

Kedua, proses investigasi dan peradilan hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional apabila negara terkait tidak dapat atau bahkan tidak mau melakukan proses investigasi dan peradilan.

Saat peresmian, pengadopsian Statuta Roma sebanyak 120 negara mendukung, tujuh negara menentang dan 21 negara lain memilih untuk abstain atau tidak memilih mendukung atau tidak mendukung.

Dari 120 negara yang menandatangani dukungan untuk Statuta Roma, hanya 60 negara yang berkomitmen secara legal untuk tunduk pada traktat (meratifikasi) tersebut.

Dalam hal ini Indonesia merupakan negara yang belum meratifikasi Statuta Roma.

Memberikan dukungan dan ratifikasi terhadap Statuta Roma menjadi elemen krusial bagi Indonesia.

Pemerintah wajib memiliki komitmen untuk menjunjung prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Selain itu memiliki niat baik untuk menuntaskan kasus kejahatan kemanusiaan di masa lalu, termasuk kejahatan gender.

Tahun 2017, desakan agar Pemerintah Indonesia diharapkan mengadopsi instrumen Statuta Roma yang menjadi salah satu rekomendasi pasca-Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss, 3-5 Mei 2017 lalu, pun sudah nyaring terdengar.

Waktu itu Wakil Koordinator untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri mengatakan, dengan mengadopsi Statuta Roma, maka Indonesia akan terikat pada agenda akuntabilitas keadilan global.

“Jika pemerintah meratifikasi Statuta Roma, maka harus ada komitmen untuk memperbaiki kualitas access to justice dari ranah penegakan hukum, penuntutan, peradilan, hingga mereformasi peradilan militer yang tidak tersentuh oleh konsep akuntabilitas hukum pidana internasional,” ujar Puri, sebagaimana dikutip dari Kompas.

Puri menyebutkan, tujuan dari pembentukan Statuta Roma adalah untuk menjamin hadirnya aspek keadilan bagi korban.

Sistem pengadilan pidana internasional (ICC/International Criminal Court) yang diatur dalam Statuta Roma, mensyaratkan agar sistem hukum pidana di tingkat nasional dapat bekerja efektif dalam menghadirkan keadilan melalui jalur yudisial.

Sifat dari mendorong berfungsi dan efektifnya mekanisme hukum nasional adalah untuk mengikat komitmen negara terhadap penegakan hukum.

“Maka ICC akan memainkan peran sebagai ‘the last resort’ – harapan terakhir korban untuk mencari keadilan di tingkat internasional,” kata Puri.

“Mengadopsi Statuta Roma akan menjamin kualitas penegakan hukum,” tambahnya.

Selain itu, pada aspek Statuta Roma, beban pertanggungjawaban berada di level individual yang melakukan pokok-pokok kejahatan internasional.

_Indonesia Bisa Memperluas Pencegahan Ketidakadilan di Dunia_

Di dalam rangka memperingati Hari Keadilan Internasional 2020 kali ini, dunia seharusnya melihat ketidakadilan yang dilakukan pasukan sekutu yang dipimpin Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak dan menggulingkan pemerintahan sah Presiden Irak Saddam Hussein.

Pada 16 Juli (1979) ini pula dunia memperingati Saddam Hussein naik ke puncak kekuasaan hingga 9 April 2003. Kekuasaannya berakhir setelah ia digulingkan dalam invasi Irak 2003 yang dipimpin oleh AS dan ditangkap oleh pasukan-pasukan AS pada 13 Desember 2003.

Saddam lahir di Al-Awja, lahir 28 April 1937. Dalam bahasa Arab, nama Saddam berarti orang yang keras kepala atau dia yang menantang (di Irak, nama ini juga digunakan sebagai istilah untuk bemper mobil).

Dari wikipedia, nama Hussein (juga dibaca Husayn dan Hussain) adalah nama kecil ayahnya, Abd al-Majid adalah nama kakeknya, dan at-Tikriti berarti ia dilahirkan dan dibesarkan di (atau dekat) Tikrit. Ia biasa dipanggil Saddam Hussein, atau hanya Saddam untuk lebih singkatnya.

Saddam merupakan pemimpin Irak dan ketua Partai Ba’ath. Ia banyak mengambil kebijakan Pan-Arabisme sekuler, modernisasi ekonomi, dan sosialisme Arab.

Seandainya saja Indonesia sudah meratifikasi Statuta Roma, pemerintah tidak hanya bisa mengutuk saja peristiwa yang terjadi di berbagai negara, tetapi bisa lebih pro aktif mengecam ketidakadilan di berbagai negara. (Pemulis wartawan senior tinggal di Jakarta)

About redaksi

Check Also

Inovasi Ketahanan Pangan Kota Semarang Kembali Raih Penghargaan Tingkat Nasional

Semarang,KORANPELITA com – Inovasi Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang di bidang ketahanan pangan kembali mendapatkan apresiasi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca