Oleh: Muhammad Gumarang
Kebijakan Presiden Joko Widodo menaikan iuran BPJS kesehatan dengan Perpres No.64/2020 pada tanggal 5 mei 2020 yang merupakan perubahan kedua atas Perpres No.82/ 2018 tentang Jaminan Kesehatan, merupakan kebijakan yang bernuansa terburu buru, karena sebelumnya Perpres No.75/2019 perubahan pertama atas Perpres No 82/ 2018 tersebut telah dilakukan uji materi di Makamah Agung (MA) dengan amar putusan No.7P/HUM/2020 pada bulan maret 2020 bahwa Perpres No. 75 /2019 dibatalkan karena menurut MA bertentangan dengan UU bahkan dengan UUD 45, yang berarti kembali kepada Perpres No.82/2018 tentang jaminan kesehatan tersebut.
Tidak berselang lama setelah Perpres No.75/2019 dibatalkan MA kemudian bertepatan pada suasana Bencana Nasional Pandemi Covid 19 yang dunia khususnya Negara Indonesia dalam keadaan tanggap darurat Nasional kemanusiaan covid 19 yang korban dimana mana berjatuhan dan berdampak luas goncangan terhadap perekonomian bahkan mulai melumpuhkan perekonomian, rakyat dimana mana menjerit mengharapkan bantuan pemerintah agar mereka bisa bertahan hidup. Ditengah tengah jeritan dan rintihan rakyat tiba tiba terdengar dengan suara penuh wibawa Presiden Joko widodo menyampaikan kenaikan iuran BPJS melalui Perpres No.64/2020 perubahan kedua atas Perpres No.82/2018. Tak sedikitpun nampak terlihat keraguan bapak Presiden dalam penyampain tersebut dengan gayanya yang khas sosok yang dekat dengan rakyat, apa adanya dan tanpa beban.
Namun disisi lain rakyat yang lagi berjuang,bergelut menghadapi bencana pandemic covid 19 dan urusan perut akibat lumpuhnya perekonomian masyarakat bahkan menanti cemasnya Bansos pemerintah mendengar kenaikan iuran BPJS tersebut bagaikan petir disiang bolong, dan seperti tak percaya kejadian tersebut bila ingat dengan sosok Presiden Joko Widodo,namun apa boleh dikata itu adalah yang harus dipikul oleh masyarakat, walaupun sebenarnya ibarat membawa badanya sendiri hampir tak mampu berdiri. Dalam keadaan seperti ini masyarakat sepertinya menanti datangnya keajaiban yang bisa membatalkan Perpres tersebut,karena masyarakat merasa pesimis terhadap kemungkinan upaya hukum atau uji materi yang kedua kalinya nanti di Mahkamah Agung (MA) karena suasana sekarang sudah mulai berberda masyarakat tidak merasa yakin kejadian pertama tersebut bisa terulang kembali kecuali keajaiban.
Bahkan beberapa anggota DPR.RI termasuk dari komisi yang membidangi meminta agar Presiden Joko Widodo mencabut,meinolir Perpres No.64/2020 tentang Jaminan Kesehatan tersebut serta timbul kecaman dimana mana karena dinilai kebijakan yang tidak taat azas hukum dan seperti tidak peka terhadap situasi keadaan masyarakat yang sebaliknya memerlukan bantuan pemerintah. Tetapi disisi lain juga DPR tidak bisa membiarkan hal ini selaku wakil rakyat dan harus gencar membangun komonikasi dengan eksekutif agar jangan sampai DPR membiarkan terbangunnya emosi rakyat karena kebuntuan urusan perut dan bisa menjadi strategis bahan isu bagi lawan politik atau pihak2 yang tidak menginginkan Indonesia damai dan/atau pihak yang berupaya ingin mengubah ideology Bangsa Indonesia Pancasila.
Kebijakan Presiden Joko Widodo Perpres No.64/2020 tentang jaminan kesehatan tersebut menimbulkan pertanyaan pertama mengapa Pemerintah tidak melaksanakan Putusan MA No.7P/HUM/2020 yang sifatnya wajib untuk dilaksanakan sehingga menghindari terjadinya pengabaian terhadap hukum (disobedience of law) bahkan menghidari pelanggaran terhadap kostitusi,namun malahan tiba tiba membuat Perpres No.64/2020 dengan materi pokok yang sama yaitu masalah kenaikan iuran BPJS tentang jaminan kesehatan,padahal pokok perkara tersebut sudah dibatalkan MA. Kedua mengapa kebijakan ini dilahirkan saat bencana nasional kemanusiaan covid 19 yang sedang kita alami. Ketiga mengapa Skema Dana Stimulus Rp.405,1 triyun dari pemerintah pusat untuk penanganan covid 19 tidak dilibatkan dalam program jaminan kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS yang pesertanya juga mendapat dampak covid 19 perlu mendapat bantuan dana stimulus tersebut selama masa pandemic covid 19.
Namun saya pribadi berkeyakinan sepanjang obyektif bila nanti dilakukan uji materi Perpres No.64/2020 di Mahkamah Agung yang rencana di ajukan oleh Komonitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) dan pihak2 lainnya tersebut Perpres N0.64/2020 akan dibatalkan oleh MA karena pokok perkara sama dengan yang telah dibatalkankan MA dengan putusan No.7P/HUM/2020 tentang kenaikan iuran BPJS Perpres No.75/2019 dan Pemerintahan juga tidak melaksanakan putusan MA tersebut namun hanya mengurangi sedikit kenaikan dan memberi kelonggaran waktu berlaku 1 juli 2020 untuk kelas I & II dan kelas III berlaku tahun 2021 dan kelas III diberi subsidi pertama sebesar Rp.16.000 kemudian berkurang subsidinya menjadi Rp.7.000, jadi intinya iuran BPJS tetap naik di semua klas dalam Perpres No.64/2020 tersebut. Jadi perbedaan prinsif antara perubahan pertama Perpres 75/2019 dengan perubahan kedua Perpres 64/2020 hanya tolensi waktu pembayaran dan subsidi untuk kelas III Rp.16.000 kemudian menjadi Rp.7.000 dan/atau naik dari Rp.25.000 menjadi Rp.35.000 diluar subsidi,dan klas I dan II masing2 berkurang Rp.10.000.
Sebenarnya masyarakat merasa haru,bahagia pada saat Putusan MA membatalkan Perpres N0.75/2019 bahkan mereka merasa masih ada dewa keadilan dibumi Pertiwi ini,namun kebahagian itu tidak berselang lama setelah datang kabar baru tentang adanya Perpres No.64/2020 terhadap perubahan kedua (II) atas Perpres No.82/2018 tentang hal yang sama dengan perubahan yang pertama yaitu kenaikan iuran BPJS. Kejadian ini membuat masalah baru bagi masyarakat selain masalah corona sendiri belum tahu kapan berakhir yang sudah meluluh lantakan ekonomi masyarakat ditambah lagi beban yang menambah timpaan beban,kini masyarakat seakan akan hanya menunggu nasib dan keajaiban dari dewa keadilan yang masih terjaga Mahwahnya
Tapi memang kita sadari Presiden Joko widodo saat sekarang terlalu banyak menghadapi masalah jelas tidak semua keputusannya sempurna karena juga tidak lepas peran para Menterinya,Kantor Staf Kepresinan(KSP),Staf Ahli Presiden,oleh karena itu kita berharap agar putusan tersebut ditinjau kembali untuk dicabut. Karena Keputusan preseden tersebut sangat bisa menimbulkan implikasi goncangan social, politik, ketertipan dan keamanan masyarakat.
Menanggapi bahwa kenaikan BPJS tersebut untuk alasan menjaga kelansungan (sustainable) BPJS, hal tersebut tidak menjamin dari mana matimatikanya dan BPJS dalam perjalanan saja tahun ketahun selalu Defisit bahkan tak pernah cukup sumber dana dari iuran,hibah,sumbangan pemerintah,dan harus dipahami bahwa BPJS bukan badan komersial atau bisnis tapi badan yang tidak mencari keuntungan (not profit oreanted). Iuran peserta tersebut sebagai salah satu sumber pendanaan utama dimana iuran setiap peserta bukan menjamin jumlah tagihan (claim) biaya pengobatan setiap peserta tapi akan ditutupi kekurangannya oleh peserta lain yang diasumsikan pada waktu itu sehat (tidak berobat),diambah hibah dan suntikan pemerintah. Peserta BPJS tahun 2020 sudah mencapai 222,9 juta orang hampir mencapai jumlah penduduk Indonesia sekitar 270 juta jiwa tapi tetap deficit juga,mulai jaman peralihahan dari PT. Jamkes ke BPJS 2014 sampai sekarang (2019) BPJS selalu deficit, maka pelaksanaan Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dilaksanakan BPJS perlu dilakukan kajian kembali.
Dan keadaan ini kita tidak menginginkan diperkeruh oleh pihak lain dibawa dalam ranah politik yang ingin dijadikan sebagai bahan Pemakjulan (impeachment) terhadap Presiden karena dengan alasan melanngar konstitusi tidak melaksanakan Keputusan MA No.7P/HUM/2020. tapi kita masih ada keyakinan permasalahan ini dapat diselesaikan oleh Presiden Joko Widodo secara baik arif dan bijak, bahkan diharapkan tanpa konplik hukum dan itu jalan (pilihan) terakhir. (Penulis pemerhati tinggal di Sampit)