Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
PEMBATASAN Sosial Berskala Besar (PSBB) telah dietapkan di beberapa wilayah. Dimulai dari provinsi DKI Jakarta kemudian disusul beberapa daerah lainnya di provinsi Banten seperti Kota Tangerang , dan beberapa Kota di Jawa Timur. Sejauh ini penindakan dengan menerapkan sanksi sebagaimna dinyatakan dalam UU Tentang Karantina juga mulai diterapkan.
Proses penetapan sanksi itu dilakukan secara bertahap. Mulai sekadar teguran, penahanan selama 24 jam, sampai kepada penerapan sanksi denda sebanyak 100 juta rupiah dan kurungan maksimal 3 bulan bagi yang tidak mematuhi ketentuan itu. Penerpan sanksi sesuai ketentuan dalam UU Karantina ini disebut sebagai penerapan sanksi tahap kedua, dan dimulai dua minggu setelah penetapan suatu kawasan menerapkan peraturan PSBB.
Kota Tangerang dan Jawa Timur
Penerapan sanksi PSBB di Kota Tangerang yang termasuk dalam rovinsi Banten ini misalnya, secara pasti didasarkan pada Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan(UUKK). Kualifikasi penerpannya berdasarkan keterangan yang disampaikan pihak penegak hukum adalah dimulai dari ditindaknya subyek hukum yang melakukan pelanggaran awal atau pelanggaran ringan. Tindakannya imbauan dan sanksi administrasi terlebih dahulu. Untuk sanksi yang berkaitan dengan UUKK diberlakukan apabila warga yang mendapat teguran administrasi tersebut masih tetap melanggar.
Untuk provinsi Jawa Timur, tiga kota yag sudah menerapkan PSBB sejak beberapa waktu berselang. Ketiga kota itu adalah Surabaya, Gresik dan Sidoarjo. Pada upaya penindakan yang dilakukan oleh petugas gabungan, khususnya dari pihak kepolisian, instansti Kesehatan dan petugas lain dilakukan penindakan terhadap 65 orang dari Sidoarjo, Gresik ditindak sejumlah 65 orang dan Surabaya terjaring 62 pelannggar aturan. Kesemuaya diproses, melalui penahanan selama 24 jam dan diproses berdasarkan UUKK dengan penjatuhan sanksi sebagaimana dinyatakan dalam UU dimaksud.
Proses penerapan sanksi, sebagaimana dinyatakan merupakan upaya terakhir, setelah upaya edukasi gagal diterapkan. Pelanggran tetap terjadi khususnya oleh subyek hukum yang bersangkutan, kemudian diterpkan sanksi tegas berupa kurungan maksimal 3 bulan dan atau denda maksimal 100 juta rupiah. Sanksi ini tentu saja meerupakan tekanan tersendiri bagi warga masyarakat yang melakukan pelanggaran.
Sanksi Pelanggar PSBB
Pelanggar PSBB dijatuhi sanksi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 9 UU No. 6 Tahun 2018 tentang UUKK. Di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa pertama, Setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Kedua, bahwa setiap orang berkewajiban ikut serta dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Sanksi berupa hukuman dinyatakan di dalam ketentuan Pasal 93, masih dalam UU yang sama, bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalma Pasal 9 Ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraaan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Sanksi sebagaimana dinyatakan di atas diproses sebagai tindakan hukum tehadap pelanggar PSBB. Mekanismenya melalui sidang Tipiring (tindak pidana ringan) melalui mekanisme sidang online. Untuk ketentuan ini diterapkan mulai dari Kota Tangerang serta terus berlanjut pada Kawasan penerapan PSBB di beberapa kota di Jawa Timur. Mekanisme teknis untuk penindakan ini melibatkan pihak kepolisian, instansi kesehatan, dan pihak pengadilan sebagai institusi yang menyelenggakan sidang guna kebutuhan penjatuhan sanksi dimaksud.
Penerapan sanksi secara betahap, dan terakhir dijatuhi sanksi berdasarkan UU itu merupakan ultimum remedium. Pada tataran normatif, bahwa norma atau kaidah dalam bidang Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Usaha Negara harus diterapkan dengan sanksi administrasi manakala terjadi pelanggaan. Namun demikian ketika sanksi administrasi ini belum berhasil maka untuk mencapai tujuan meluruskan norma hukum yang mengatur, baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau ultimum remedium dimaksud.
Sanski pidana berupa kurungan badan sebagai senjata pamungkas atau ultimum remedium diterapkan, karena sanksi administratif sebagaimana dimaksudkan itu tidak membuat seseorang jera. Dengan demikian pemahaman tentang sanksi pamungkas ini ada pada lapangan hukum pidana. Sementara pelangaran awal sebagaimana kemudian diadakan tindakan adalah pada ranah Hukum Administrasi Negara.
Konstruksi hukum yang meletakkan sanksi kurungan dan atau denda, menjadi pilihan atau alat terakhir yang dikenal baik dalam hukum pidana maupun hukum penyelesaian sengketa. Penerapan sanksi pidana sejauh mungkin dihindarkan karena di samping memerlukan biaya lebih mahal, karena yang harus menanggung biaya hidup khususnya konsumsi makan adlah negara. Sementara bagi pelangga sendiri karena sedemikian rupa dibatasi aktivitasnya akan sangat berpengaruh kepda psikologi, dan pasti membekas dalam hidupnya untuk jangka waktu yang lama.
Oleh karena itu bijak jika pelanggar cukup dikenai sanksi denda. Satu dan lain hal negara juga akan memperoleh masukan seca finansial dari rkyat yang melanggar hukum dan itu menjadi pelajaran sangat berharga bagi dirinya untuk tidak mengulangi. Demikian pula bagi warga lain menjadi pelajaran berharga untuk tidak melakukan hal yang sama.***