Oleh Man Suparman
PEMERINTAH itu, baik hati. Baik sejak pemerintahan Presiden Soekarno, Soeharto, BJ. Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY hingga Presiden Jokowi, saat ini. Kebaikan pemerintah itu, tentu saja diharapkan terus berlanjut hingga anak cucu, buyut, udeg-udeg janga wareng, dan hingga tibanya hari kiamat nanti.
Apa itu, kebaikan pemerintah ? Oh, tentu banyak sekali kebaikan pemerintah sebagai bentuk kewajiban dan tanggung jawab pemerintah atau presidennya terhadap rakyatnya, sesuai dengan tujuannya ketika negara republik ini didirikan oleh para pendahulu kita.
Dari sekian banyak kebaikan pemerintah terhadap rakyatnya, yaitu diantaranya sebagaimana yang dilakukan pemerintahan Kabinet Indonesia Maju (KIB) jilid II Pemerintahan Presiden Jokowi, wong Solo, pekerja PDI Perjuangan wong Megawati Soekarnoputri dengan meluncurkan Program Prioritas Nasional berupa Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
PTSL diluncurkan oleh Jokowi, berupa pembuatan sertifikat tanah secara gratis dan cepat dengan mengucurkan APBN yang cukup besar untuk kelancaran program ini. Sebagaimana diketahui yang melatarbelakangi lahirnya PTSL, belum adanya jaminan kepastian hukum atas tanah seringkali memicu terjadinya sengketa dan perseteruan atas lahan di berbagai wilayah di Indonesia.
Di kalangan masyarakat, baik antarkeluarga, tak jarang sengketa lahan juga terjadi antarpemangku kepentingan (pengusaha, BUMN dan pemerintah). Hal itu membuktikan pentingnya sertifikat tanah sebagai tanda bukti hukum atas tanah yang dimiliki.
Lambannya proses pembuatan sertifikat tanah selama ini menjadi pokok perhatian pemerintah. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN telah meluncurkan Program Prioritas Nasional berupa PTSL.
PTSL adalah proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, yang dilakukan secara serentak dan meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan di dalam suatu wilayah desa atau kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu. Melalui program ini, pemerintah memberikan jaminan kepastian hukum atau hak atas tanah yang dimiliki masyarakat.
Metode PTSL, merupakan inovasi pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat: sandang, pangan, dan papan. Program tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri No 12 tahun 2017 tentang PTSL dan Instruksi Presiden No 2 tahun 2018.
PTSL yang populer dengan istilah sertifikasi tanah ini, merupakan wujud pelaksanaan kewajiban pemerintah untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah masyarakat. Nantinya masyarakat yang telah mendapatkan sertifikat dapat menjadikan sertifikat tesebut sebagai modal pendampingan usaha yang berdaya dan berhasil guna bagi peningkatan kesejahteraan hidupnya.
Tak Seindah Program
Tetapi dalam praktiknya, kebaikan pemerintah itu, kebaikan presiden itu, tidak seindah programnya, tidak seindah pidatonya, dan tak seindah para pegawai ATR/BPN yang necis menggenakan baju seragam berlabel PTSL. Salah satu contoh di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, target PTSL tahun anggaran 2019 sebanyak 40. 000 bidang (yang diukur 50.000 bidang). Nyatanya ,hingga saat ini masih isapan jempol belaka.
Di Desa Sukasirna, Kecamatan Sukaluyu, Cianjur, sebagaimana pengakuan Seketaris Desa (Sekdes) Sukasirna, Ny. Siti, untuk tahun 2019 sebanyak 3.000 bidang tanah yang diajukan melalui PTSL, namun hingga lewat tahun 2019 atau hingga bulan Maret 220 ini, baru 800 bidang tanah saja yang sudah selesai dibuatkan sertifikat.
Kondisi seperti itu, sangat mencengangkan dan mengherankan, mudah-mudahan tidak terjadi di desa lain dan di kabupaten lain. Di daerah ini, konon banyak penyertifikatan melalui PTSL sejak digulirkan tahun 2017 dari setiap tahunnya hingga tahun 2019, masih banyak yang belum selesai.
Tahun 2019 berlalu sudah, dan sekarang sudah mau memasuki pertengahan bulan Maret 2020, tetapi masih cukup banyak sertifikat PTSL tahun 2019 yang belum selesai. Alasan yang diberikan oleh pihak ATR/BPN dari yang semula sederhana menjadi berbelit-belit, namun tak berujung. Sertifikat PTSL pun tak kunjung selesai.
Banyak warga masyarakat yang bosan mempertanyakannya, baik ke pihak desa maupun ATR/BPN. Warga berhak menanyakannya, sudah sejauh mana proses pembuatannya. PTSL gratis hanya slogan pemerintah, hakekatnya membayar, baik yang langsung diberikan kepada pihak desa antara Rp. 300. 000 s/d Rp. 500,000, sebagai uang perangko. Disamping dibiayai dari pemerintah pusat melalui APBN yang dikucurkan kepada setiap ATR/BPN di daerah yang nota bene besumber dari pajak, uang dari rakyat juga.
Inti pertanyaan dan persoalannya, bagaimana alokasi biaya dari APBN yang tiap tahun dikucurkan, sedangkan garapan penyertifikatan tanahnya masih banyak yang belum selesai hingga loncat tahun ? APBN tiap tahun habis digelontorkan, sertifikat hak masyarakat tidak selesai. Lucunya lagi, sekarang sudah mulai sibuk menyiapkan sosialisasi PTSL tahun 2020.
Lambannya proses pemuatan sertifikat PTSL ini, boleh jadi diduga akibat buruknya kinerja aparat ATR/BPN di daerah. Boleh jadi pula pemerintah pusat seperti Presiden Jokowi, Kementerian ATR/BPN, tidak tahu (kelakuan) buruknya kinerja aparat bawahannya yang seharusnya bekerja secara cepat.
Ya, pidato indahnya 29 hari setiap sertifikat PTSL selesai dibuat. Sama dengan cerita indahnya pembuatan sertifikat reguler, kurang dari empat bulan selesai dibuat yang praktiknya bisa setahun, dua tahun, tiga tahun atau bertahun-tahun baru bisa selesai. Padahal sertifikat PTSL tahun 2019 ditargetkan selesai bulan November 2019, bahkan janji indahnya petugas ATR/BPN, menjamin selesai tahun 2019, tidak akan loncat tahun. Praktiknya ?
Nah, bagaimana juga nasib sertifikat PTSL tahun 2019 dan tahun-tahun sebelumnya ? Atau masyarakat akan dibiarkan terus menunggu sepanjang waktu, menanti dalam penantian yang tanpa ada kepastian seperti menunggu godot ? Wallohu’alam. (Penulis wartawan Harian Pelita 1980 – 2018/Koranpelita.com/pernah menjadi wartawan Suara Karya).
000