Semarang,Koranpelita.com
Provinsi Jawa Tengah menjadi wilayah yang dipilih Wakil Khusus Sekjen PBB Bidang Perlindungan Anak, Dr. Najat Maalla M’jid untuk mengkampanyekan target maksimal penghapusan kekerasan terhadap anak pada tahun 2030. Pasalnya, pemprov dianggap konsen menggarap perlindungan anak sangat tinggi.
“Untuk mencapai target tahun 2030 kekerasan terhadap anak dihapuskan di dunia, Indonesia khususnya, PBB mengajak seluruh stakeholder menyiapkan segala program dan kebijakan yang ramah dengan anak. Di Indonesia, Jawa Tengah khususnya, dalam beberapa tahun terakhir telah menyiapkan hal tersebut,”ujar Dr Najad Maalla M’jid.
Menurutnya, Jawa Tengah sangat beruntung memiliki Gubernur yang bermental psikolog dan menjunjung keberagaman dan toleransi. Ini menjadi modal utama mempermudah langkah kita, sehingga anak-anak bisa diterima di seluruh lapisan di sini
“Saya merasa senang dan bangga ternya Gubernur Jateng konsen sekali terhadap anak anak,” kata Dr. Najat dalam Dialog Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak bersama Unicef, di Wisma Perdamaian, Semarang, Jumat (6/3/2020).
Selama dua hari dia berkunjung ke Semarang, Dr. Najat mengekplorasi dunia anak setempat dengan keliling beberapa tempat di Semarang, yang ramah anak serta berdialog dengan mereka. Hal tersebut dia lakukan untuk memastikan bahwa hak anak di Semarang dan Jawa Tengah hak-haknya benar-benar terpenuhi.
“Juga memastikan suara anak-anak di dengar di seluruh dunia. Tahun 2030 kekerasan terhadap anak harus dihapuskan. Tugas kita mengawal program dan kebijakan pemerintah agar itu benar-benar terealisasi,” katanya.
Selain Dr. Najat, dalam diskusi tersebut juga hadir Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan akademisi dari Universitas Diponegoro, Dr. Amirudin. Kekerasan terhadap anak, aksesibilitas dan bullying jadi bahasan utama dalam dialog tersebut. Selain narasumber di atas, anak-anak peserta dialog juga sangat blak-blakan menyampaikan keluh kesah maupun pendapatnya.
Bahkan, salah satu siswa SMP di Semarang mengaku pernah menjadi korban bullying. Bukan hanya kawannya, dia mengaku juga mendapat bullying dari gurunya, dari cemoohan sampai perlakuan kasar secara fisik.
“Pernah ditendang dan remehkan. Ada juga teman saya yang dipukul sama guru itu,” kata siswa itu.
Selain siswa tersebut, ada juga Melati dari komunitas Satu Harapan Semarang yang berharap seluruh sekolah di Jawa Tengah bisa menerapkan sistem inklusi.
“Bukan hanya di di lingkungan pendidikan, tapi menurutnya sistem inklusi juga mesti diterapkan di kantor-kantor pemerintah dang tempat-tempat ibadah,”paparnya.(sup)