Bandung, Koranpelita.com
Proyek Pembagunan Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung, ibarat makan buah si Malakama. Dilanjutkan potensi kerugian sudah tergambar dengan jelas, tidak dilanjutkan biaya yang sudah dikeluarkan yang bersumber dari pinjaman mau dari mana mengembalikannya.
“Kedua pilihan itu, akhirnya akan jadi beban APBN dimasa mendatang,” kata Ir. H. Ayi Hambali, mantan anggota DPD RI kepada Koranpelita.com, Kamis (5/3), mencermati Pembangunan Proyek Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung yang menuai banyak persoalan.
Menurutnya, ketika prediksi berangsur menjadi fakta dalam penggunaan hak bertanya oleh Anggota DPD RI kepada Presiden Republik Indonesia tentang Pembangunan Proyek Kereta Api Cepat Jakarta -Bandung yang disampaikan 29 Oktober 2015.
Waktu itu, kata Ayi Hambali, salah satu yang mendapat perhatian yang sangat serius adalah pengelolaan dampak lingkungan pada saat prakonstrusi, saat konstruksi dan saat operasional, dikarenakan daerah yang dilalui oleh trase Kereta Api Cepat tersebut merupakan wilayah yang rawan bencana.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, terjadi beberapa kali bencana, mulai dari meledaknya pipa Pertamina, banjir besar di Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang sebelumnya belum pernah terjadi, banjir di jalan Tol Jakarta – Cikampek, dan longsor di Purwakarta.
“Semuanya itu, ditengarai disebabkan proses konstruksi pada areal pembuatan terowongan bawah tanah dan berujung pada dikeluarkannya Surat Perintah Pemberhentian Sementara Pembangunan Proyek KA Cepat Jakarta – Bandung dari Kementerian PUPR,” ujar Ayi Hambali.
Dikemukakan, peristiwa -peristiwa tersebut, merupakan prediksi yang berangsur menjadi fakta, kemudian akan berdampak pada membengkaknya biaya pembangunan serta molornya waktu penyelesaian,”Tentu saja akan berakibat juga pada kalkulasi financial dan membengkaknya utang,” ucapnya.
Ayi Hambali, mengibaratkan, bagai makan buah si Malakama, dilanutkan potensi kerugian sudah tergambar dengan jelas, tidak dilanjutkan biaya yang sudah dikeluarkan yang bersumber dari pinjaman mau dari mana mengembalikannya. Kedua pilihan itu, akhirnya akan jadi beban APBN dimasa mendatang. (Man Suparman)