Oleh Man Suparman
Melambai-lambai nyiur di pantai. Berbisik-bisik Raja klana memuja pulau nan indah permai. Tanah airku Indonesia.
Penggalan lagu Rayuan Pulau Kelapa, karangan Ismail Marzuki, sungguh sangat indah yang dinyanyikan dengan mendayu-dayu. Apalagi jika mendengar lagu itu, ketika malam semakin larut beringsut saat siaran Televisi Nasional Republik Indonesia akan mengahiri siarannya pada malam dini hari.
Bagaimana, jika penggalan syair lagu itu, dirubah, misalnya Melambai-lambai nyiur di trotoar. Hmm, rasanya kurang enak didengar dan agaknya terasa janggal, dan kurang indah, tidak seindah melambai-lambai di pantai, dan kenapa melambai-lambai di trotoar ?
Persoalannya, nyiur atau kelapa yang biasa ditanam di hutan, di kebun dan di pantai melambai-alambai ketika dihembus angin, justru di kota tempat tinggal penulis pohon kelapa di tanam di atas trotoar sejumlah ruas jalan. Penanaman pohon kelapa ini, berkaitan dengan proyek penataan kota.
Dalam proyek penataan kota, hampir semua trotoar ruas jalan diperlebar yang diperuntukkan pejalan kaki, dan pembuatan taman yang diantaranya ditanami pohon kelapa. Boleh jadi, untuk memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki, tak ada lagi pedagang kaki lima, sehingga terwujud suasana kota yang tertib, indah dan nyaman.
Sisi lain dibangunnya taman di sepanjang trotoar yang diwarnai pohon-pohon nyiur, ruas jalan jadi menyempit, karena kiri –kanan jalan dicaplok untuk pembuatan taman. Jalan yang sudah sempit dibikin sempit, sehingga terjadi kemacetan disana-sini, lalu lintas semakin semrawut.
Warga masyarakat, pengguna jalan, pengemudi kendaraan pribadi, pengemudi kendaraan angkutan umum, pemotor, menyalahkan pemerintah daerah, pelebaran trotoar, pembuatan taman pohon kelapan menjadi penyebab kemacetan. Banyak pengemudi angkutan umum yang bersungu-sungut, bahkan menyumpahi bupati.
Walaupun sebenarnya, boleh jadi pelebaran trotoar dan pembuatan taman pohon kelapa itu, bukan menjadi penyebab utama, bisa saja karena terlalu banyaknya angkutan umum, karena tidak disiplinnya pengguna jalan yang berhenti atau parkir di sembarang tempat. Tetapi saling bantah, karena tidak mau disalahkan, itu sesuatu yang biasa dengan argumentasi masing-masing.
Nah, pembangunan taman trotoar yang ditanami pohon kelapa yang banyak melahirkan banyak pertanyaan : Kenapa mesti pohon kelapa, bagaimana jika nanti “sintungnya”, “balukangnya” atau dahannya, dan buahnya jatuh menimpa kendaraan atau pejalan kaki, dan siapa yang akan bertanggung jawab ?
Kenapa tidak ditanami pohon manngga atau pohon jambu, atau pohon produktif yang berbuah, sehingga buahnya nanti dapat dipetik dan dinikmati masyarakat. Sik asyik, ketika buahnya masak, bisa ramai-ramai memetik dan menikmatinya dibawah pohon sambil duduk-duduk.
Tetapi tak apalah, kini tengah tumbuh barisan-barisan pohon kelapa di belantara kota, diantara langkah pejalan kaki yang ringkih, apakah bisa melepas penat berlindung dibawahnya dari sengatan panasnya matahari.
Apakah nanti bisa duduk bersandar dibawahnya sambil meminum air kelapa muda melepas dahaga, apakah akan tumbuh suburkah, apakah akan ada musim panen kelapa tiba. Sungguh indah, menunggu panen buah kelapa tiba di belantara kota, sambil menikmati indahnya kota berhias dedaunan kelapa. (Penulis Wartawan Harian Pelita 1980 – 2018/Koranpelita.com, pernah menjadi wartawan Suara Karya).