Tirto Adhi Soerjo. Perintis Persuratkabaran dan Kewartawanan Nasional
SETELAH sekilan lama insan pers dan budayawan di Cianjur, Jawa Barat, memiliki keinginan Cianjur memiliki pembangunan monumental tentang Adhi Soerjo, akhirnya kini Cianjur memiliki patung Adhi Soerjo. Walaupun sebelumnya memiliki besar ingin memiliki Museum Pers Adhi Soerjo.
Patung Tirto Adhi Suro, sekarang berdiri sebelah kiri teras masuk Bale Pawarti PWI Perwakilan Kabupaten Cianjur, yang cukup megah. Patung ini, dibangun atas prakarsa Pemkab Cianjur. Jum’at (19/11) diresmikan oleh Ketua PWI Cabang Jawa Barat, H. Hilman Hidayat, disaksikan Sekda Cianjur, H. Aban Sobandi, Kabag Humas, Iyus Yusuf, para wartawan dan perserta OKK (Orientasi Kewartawanan dan Korganisasian) 2019 yang diikuti 55 peserta.
Keinginan Cianjur memiliki bangunan menumental tonggak sejarah pers Cianjur, memang sudah cukup lama digagas oleh insan pers dan budayawan di Cianjur yang sangat getol mewacanakannya, yaitu Dr. Abah Ruskawan Pengurus Besar Paguyuban Pasundan,”Ya, seperti banyak diinginkan oleh para insan pers kita ingin memiliki Museum Pers Tirto Adhi Soerjo. Sekarang baru dapat patung, mudah-mudahan ini menjadi pintu awal kedepannya keinginan mimiliki Museum Adhi Soerjo dapat terwujud,” ujar Abah dalam suatu perbincangan dengan Koran Pelita, belum lama ini.
Siapa Tirto Adhi Soerjo ? Tirto Adhi Soerjo, adalah Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo, lahir di Blora, 1880–1918, tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat Tirto Adhi Soerjo.
Dalam kiprahnya. Tirto Adhi Soerjo menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Tirto Adhi Soerjo juga mendirikan Sarikat Dagang Islam dan pemrakarsa Sarikat Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto Adhi Soerjo diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula. Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto Adhi Soerjo mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.
Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora tahun 1880 dalam lingkungan keluarga bangsawan. Beliau adalah cucu R.M.T Tirtonoto, Bupati Bojonegoro yang dianugerahkan penghargaan bintang Ridder Nederlandsche Leeuw yang merupakan bintang penghargaan tertinggi Kerajaan Belanda. Dari garis ibu, ia adalah keturunan Mangkunegara I dan berada di derajat ke-4 dari Keraton Surakarta sekaligus keturunan ke-4 dari R.M.AA. Tjokronegoro, Bupati Blora. Ayah Tirto adalah R. Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero adalah pegawai Kantor Pajak. Tirto Adhi Soerjo adalah anak kesembilan dari 11 bersaudara.
Setelah orang tuanya meninggal, Tirto Adhi Soerjo kemudian ikut neneknya Raden Ayu Tirtonoto. Dari neneknya inilah Tirto Adhi Soerjo diajarkan untuk menjadi manusia yang mandiri. Didikan neneknya telah menumbuhkan jiwa entrepreneur dalam diri Tirto Adhi Soerjo.
Setelah lulus dari Europeesch Lagere School (ELS) Tirto melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Batavia. Namun, sekolahnya di STOVIA tidak dilanjutkan dan ia memutuskan untuk keluar pada tahun 1900. Nampaknya, beliau lebih memilih menjadi jurnalis serta menekuni bidang itu secara serius.
Oleh karena kepandaiannya dalam dunia tulis-menulis, maka pada 2 April 1902, Tirto Adhi Soerjo diangkat sebagai redaktur Pembrita Betawi yang dipimpin oleh F. Wiggers dan pada 13 Mei 1902, ia berhasil naik pangkat menjadi pemimpin redaksi. Namun, jabatan tersebut hanya dipegangnya selama satu tahun karena berselisih paham dengan F. Wiggers. Kemudian, ia memutuskan untukpindah ke Bandung pada tahun 1903.
Setelah menikah dengan R.A. Siti Habibah, ia tinggal di Desa Pasircabe, Kabupaten Bandung. Di sinilah ia ditawari oleh Bupati Cianjur, R.A.A. Prawiradiredja, untuk menerbitkan surat kabar sendiri. Terbitlah Soenda Berita pada tahun 1903. Inilah surat kabar pribumi pertama berbahasa Melayu, yang dimodali, dicetak, ditangani oleh pribumi. Soenda Berita berhenti terbit tahun 1906.
Tirto Adhi Soerjo tinggal di Bogor, kemudian bersama beberapa priyayi di Batavia, mendirikan Sarikat Prijaji dengan anggota sekitar 700 orang dari berbagai daerah di Hindia Belanda. Sarikat Prijaji menginginkan sebuah surat kabar untuk corong suara mereka yang lebih dari Soenda Berita yang tak mau bicara politik. Maka pada tanggal 1 Januari 1907, diterbitkanlah Medan Prijaji. Sesuai dengan namanya, Medan Prijaji merupakan suara golongan priyayi.
Karena dinilai terlalu vokal, beliau sering dibuang ke beberapa tempat seperti ke Lampung dan Ambon. Sejak pembuangannya ke Ambon, Tirto Adhi Soerjo tak mampu berbuat apa-apa dalam perkembangan kegiatan-kegiatan di Jawa. Medan Prijaji telah diberangus, dan Sarekat Islam jatuh ke tangan H.O.S. Tjokroaminoto, dan beberapa usaha yang dirintisnya telah diambil alih.
Selama enam bulan Tirto Adhi Soerjo menjalani masa pembuangan, dan semua yang telah dirintis dan dibesarkannya selama bertahun-tahun kandas. Tak bisa ditolak bahwa sikapnya yang tidak mampu membatasi diri juga turut menyebabkan usahanya hancur. Tirto Adhi Soerjo kembali ke Jawa dalam keadaan tak memiliki apa-apa. Akhirnya pada tanggal 7 Desember 1918, Tirto Adhi Soerjo meninggal dunia di Batavia.
Tirto Adhi Soerjo, selain menjadi kebanggaan pers nasional juga menjadi kebanggaan insan pers dan masyarakat Cianjur, karena Tirto Adhio Soerjo, berjuang dan menapaki awal penerbitan surat kabar “Soenda Berita” di Cianjur. Patung Tirto Adhi Soerjo yang ada di sisi kiri teras masuk Bale Pawarti Sekrtariar PWI Perwakilan Kabupaten Cianjur, untuk mengingatkan generasi muda atas jasa-jasa beliau dan jangan melupakan sejarah. Apalagi sampai tidak tahu siapa Tirto Adhi Soerjo, itu, kebangetan namanya.(dari berbagai sumber/mans).