Oleh: Dr. H. Joni.SH.MH.
ERA BARU bernama omnibus law sudah mulai bergerak dengan lahirnya Undang Undang baru. Secara administratif birokratif, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan bahwa RUU segera diserahkan agar pembahasan bisa dilakukan awal 2020. Harapannya, aturan hukum itu bisa diterbitkan pada paruh pertama tahun depan.
DPR tentu akan dibuat sangat sibuk dengan pekerjaan membahas RUU baru, sesuai dengan nomenklatur bahwa RUU yang datang dari pemerintah harus dibahas, di samping membahas berbagai program legislasi yang sudah ada. Program legislasi dimaksud adalah peninggalan DPR periode sebelumnya. Tidak terlalu sulit, memang, karena sebagian (besar) anggota DPR periode ini adalah wajah lama yang sudah tahu persis mekanisme dan apa yang mesti mereka lakukan.
RUU Sapu Jagat
Dari sisi mekanisme, biasa saja ketika pemerintah mengajukan sebuah RUU yang harus dibahas oleh DPR serta memerlukan persetujuan dari lembaga wakil rakyat tersebut. Namun RUU yang diharapkan disahkan pada awal tahun depan ini istimewa. Istimewanya karena RUU yang bertajuk omnibus law dimaksud merupakan UU sapu jagat. Sekadar bayangan, bahwa saat ini ada 70 UU yang sudah selesai kami identifikasi. Harapannya, sebelum reses 12 Desember itu sudah bisa masuk ke DPR, untuk selanjutnya masuk dalam tahap pembahasan.
RUU yang dibahas sebagai realisasi dari omnibus law ini ada dua RUU baru hasil omnibus law, yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Untuk itu, pemerintah hanya akan menyetor satu draf karena RUU tersebut sudah menyangkut dua konsep RUU yang diinginkan oleh pemerintah, dalam hal ini diinisiasi oleh Presiden selaku kepala pemerintahan.
Istimewanya, dari draf UU ini nantinya akan menyatukan sekitar 70 UU yang berasal dari 11 sektor, yaitu penyederhanaan perizinan berusaha, pengenaan sanksi dengan mengganti sistem hukum pidana ke perdata, dan administrasi pemerintahan. Kemudian, soal pengadaan lahan, persyaratan investasi, kemudahan dan perlindungan bagi UMKM, serta dukungan riset dan inovasi.
Inilah inovasi legislasi, yang sering disebut sebagai konsep legislasi sapu jagat karena begitu banyak UU yang akan dicover, dan secara praktis UU yang dicover tersebut kemudian menjadi tidak berlaku lagi. Implikasinya, menuju kepada soal kemudahan berusaha, kemudahan proyek pemerintah, kawasan ekonomi, dan ketenagakerjaan. Khusus untuk ketenagakerjaan, pemerintah akan melakukan pembaharuan pada beberapa aspek, yaitu upah minimum, outsourcing, pekerja asing, uang pesangon, jam kerja, dan sanksi. Secara praktis, RUU yang akan diajukan ke dewan legislatif akan berbentuk satu draf saja, yaitu dengan nama RUU Cipta Lapangan Kerja.
Aspek Kelembagaan
Menarik, bahwa aspek kelembagaan, atau lembaga yang menangani draf RUU merealisasikan omnibus law ini diletakkan pada satu Lembaga. Artinya secara kelembagaan lahirnya RUU itu diletakkannya wewenang pembentukan peraturan di bawah satu atap seperti badan regulasi. Idealnya tak ada lagi konflik produk hukum, khususnya pada level UU karena produk hukum yang selama ini diajukan secara sektoral oleh departemen atau kementerian ini harus melalui satu atap.
Dengan dibentuknya badan regulasi maka potensi tumpang tindih pengaturan bisa dicegah. Untuk itu secara kelembagaan akan ada unit tertentu dalam struktur pemerintahan yang ditunjuk oleh Presiden yang akan menanganinya. Dengan demikian lahirnya produk hukum ini akan dijamin efektif dan efisien. Demikian pula, Badan regulasi atau unit yang ditunjuk tersebut harus membuat rencana aksi reformasi regulasi yang bersifat menyeluruh.
Secara teknis memang akan banyak masalah baru yang muncul. Misalnya di Lembaga DPR sebagai pihak yang selama ini menurut UUD 1945 sebagai Lembaga legislasi atau pembentuk UU. Misalnya kesiapan para anggota yang akan menrangkum sekitar 74 undang-undang yang harus disederhanakan. Rinciannya sebanyak 22 UU di antaranya berhubungan dengan sektor ketenagakerjaan, sekitar 20 UU berhubungan dengan investasi yang harus disatukan, dan beberapa regulasi tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Itu semua, kata Willy, harus diharmonisasi.
Faktanya bahwa banyak peraturan perundang-undangan yang mungkin satu sama lain yang tidak harmonis. Substansinya di dalam mewujudkan upaya Omnibus Law bukan hanya sekadar menyederhanakan jumlah undang-undang namun sejauh mana penyatuan UU itu harmonis menjadi sebuah produk legislasi yang tak saja mencakup semua tetapi juga efektif berlaku untuk waktu yang lama.
Bahwa selama ini disebabkan oleh sarat kepentingan yang adapada suatu UU, menyebabkan sebuah UU berlakunya bisa disebut sangat pendek. Hal ini karena secara substantif sebuah RUU yang dibahas oleh DPR sarat kepentingan dari para anggota yang mewakili partai politik yang seringkali berbenturan kepentingannya antara satu parpol dengan parpol lain. Bukan rahasia bahwa di dalam pembahasan terjadi negosiasi yang menyebabkan produk legislasi itu tak lagi bermuatan norma yang bersifat ideal, tetapi semata sebagai refleksi pertemuan kepentingan para anggota dewan.
Mengakhiri dominasi sebagaimana dimaksud tentu bukan hal yang mudah. Mengingat hal demikian sudah berlangsung sangat lama. Oleh karena itu, satu hal bahwa omnibus law ini memerlukan dukungan dari semua pihak sebagai bagian dari cita mewujudkan sistem pemerintahan, sistem ekonomi dan sistem sosial yang benar benar tertata serta berorientasi kepada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Ini adalah idealisme yang dingin diraih seluruh rakyat.
Bijak kiranya, jika analisis melalui berebagai forum, khususnya yang dilakukan oleh kalangan ilmuwan berangkat dari persetujuan terhadap konsep omnibus law. Harusnya yang dibahas adalah mengeleminasi kendala yang muncul dan kemungkinan muncul untuk selanjutnya ditemukan solusi atau pemecahannya. Tidak lagi membahas mengenai eksistensi omnibus law yang sedang dilaksanakan, apalagi dipolitisasi sehingga tujuan idealnya menjadi kabur dan jauh dari nyata. (Penulis,Notaris, Dosen STIH Habaring Hurung Sampit, Pengamat Hukum dan Sosial tinggal di Sampit Kalimantan Tengah)