Nama saya Sumarjono. Ini harus selalu saya ulangi. Tapi tetap saja, saya merasa lebih pas menyebut, Nami Kulo Sumarjono. Tulisan ini, masih tentang Ambon Manise. Kota yang disepuh berpuluh-puluh pesona.
Menikmati sebuah peristiwa angslup atau tenggelamnya mentari yang kemarin saya ceritakan, sudah berakhir. Namun sebelum benar-benar berakhir, berbagai pose diabadikan lalu disimpan aman di media sosial dengan maksud mempromosikan Ambon Manise, bukan untuk kesombongan.
Kini, saatnya menikmati malam. Malam yang sayang jika terbuang tanpa menikmati kuliner Kota Ambon yang semogalah tidak terlalu menaikkan lingkar pinggang.
Jadilah saya mencobai berbagai masakan khas Ambon. Makanan yang mungkin sama dengan tiga tahun lalu saat berkunjung ke Ambon pertama kali. Saya tak terlalu paham menu-menu yang dihidangkan, sampai ada menjelaskannya.
Malam itu tak sesendok pun nasi saya sentuh. Tentu bukan karena saya makan dengan sendok sehingga tidak menyentuh nasi, tapi karena saya ingin menikmati semua makanan yang terlihat nikmat.
Menyentuh nasi hanya akan membuang kesempatan bisa mencicipi menu lain yang menggoda selera. Lagi pula, kalau makan nasi, sudah biasa. Di rumah juga banyak dan rasa nasi Ambon, saya kira sama saja dengan nasi Jawi.
Menyingkirkan nasi, malam itu, saya melirik ikan kuah pala. Segar kuahnya dan terasa asam berpadu dengan pedas dari buah pala. Saking enaknya, katanya sejak jaman dahulu ikan kuah pala ini selalu dihidangkan untuk menyambut pejabat, termasuk pejabat Belanda (saat menjajah) yang datang, khususnya jika ke Pulau Banda yang dikenal banyak rempah-rempahnya.
Menu lainnya yang menemani ikan kuah pala adalah urap daun pepaya, ikan kakap merah bakar, cah kangkung polos, dan sambal bekasang. Sambal bekasang ini terbuat dari ikan cakalang tumbuk.
Tapi tunggu dulu. Ternyata masih ada lagi menu yang mesti dicoba. Namanya papeda. Papeda jarang ditemui di Indonesia bagian barat. Makanan berbahan baku sagu ini sangat unik cara mengambil dari tempat disajikan ke piring.
Bentuk papeda menyerupai lem. Dengan dua chopstik yang diputar-putar kita bisa mengambil papeda. Rasanya hambar sehingga perlu kuah kuning agar terasa nikmat. Papeda menjadi makanan pengganti nasi. Nah yang membuat lebih enak lagi, makan malam itu dibayari oleh pengundang untuk acara esok hari.
Sudah. Kenyang. Kini saatnya kembali ke hotel. Peraduan akan menjadi tempat ternyaman menghabiskan malam. Doa sebelum pulas pun terucap disertai syukur atas nikmat yang didapat, termasuk nikmat kenyang malam ini. Tapi terlupa doa agar lingkar pinggang tidak naik ukurannya, karena mata keburru terkatup.
Saat terbangun karena adzan subuh sudah terdengar, teringat masih banyak hal yang mesti dikerjakan. Selepas sholat subuh, saya tak beranjak dari kamar hotel dan tak bisa menikmati jalan pagi. Beberapa pekerjaan mesti diselesaikan dalam gegas. Beruntung dan berutangbudi rasanya pada teknologi informasi dan komunikasi yang memudahkan penyelesaian pekerjaan tanpa perlu harus selalu dikerjakan di kantor.
Dua jam bekerja, saya minta rekan di Jakarta untuk menindaklanjuti beberapa hal. Agak aneh, respon dari Jakarta terlalu lamban, padahal Jakarta dikenal serba sibuk dan cepat. Saya mulai deg-degan, karena sudah lewat dari pukul 7 pagi.
Mak gragap. Saya tersadar. Jakarta dan Ambon memang beda. Ada jeda zona yang membuat Jakarta masih sangat pagi meski di Ambon sudah jam 7. Saya setengah yakin, rekan saya di Jakarta masih lelap, jika tidak dalam perjalanan.
Tak apa. Meski mak gragab, kaget yang menyentak, syukurlah Ambon adalah kota yang memiliki ritme landai. Hari seolah melangkah dalam irama rendah. Tidak ada yang buru-buru. Jam 7, juga masih bisa santai. Sehari serasa seminggu. Berbeda dengan waktu di kota Makasar atau Jakarta yang serba cepat, lekas, dan gegas.
Tapi ditempatkan bekerja di Kepulauan Maluku yang tak buru-buru, bukan berarti tak ada tantangan. Justru ada tantangan yang sangat kentara. Maluku memiliki dataran yang hanya seluas 7,6% dari luas keseluruhan. Jadi sebagian besar kawasan ini adalah lautan.
Maluku yang banyak digetarkan oleh gempa, juga memberi tantangan tersendiri. Makanya saya selalu salut dan bangga pada Pak Alias Muin (Kakacab), para Kabid (Bu Muy, Pak Saleh Bakri dan Pak Adi), dan seluruh insan BPJS Ketenagakerjaan Cabang Maluku yang selalu antusias menuntaskan tugas melayani peserta.
Selesai urusan mak gragab tadi, saya putuskan mengurus perut. Sarapan. Bergabung di meja Bu Anggar dan beberapa ibu-ibu dari OJK, saya menikmati sarapan buah dan mie goreng. Lalu salah satu ibu mengambil makanan yang saya baru lihat. Nama makanan itu agak unik yaitu suami.
Suami adalah makanan khas Ambon yang terbuat dari ubi parut yang sudah diperas airnya dan dikukus. Saat saya masih terheran-heran dengan nama makanan itu, terdengar keluhan seorang ibu yang mengambil suami, tapi tidak enak dimakan.
Saya juga baru tahu, agar suami nikmat di lidah, dimakannya harus saat suami masih dalam keadaan hangat setelah dikukus. Suami yang dingin tentu tak akan terasa enak.
Entah kenapa dulu makanan dari ubi yang dibentuk seperti kerucut itu dinamai suami. Saya menanyakan hal ini kepada rekan yang asli Ambon. Tapi tak ada jawab yang pasti. Saya hanya dijelaskan bahwa ada tiga jenis suami.
Tiga jenis suami itu adalah, suami yang memakai gula. Suami jenis ini enak dimakan ditemani minum teh atau kopi. Lalu, suami yang terbuat memakai kelapa setengah tua. Nah suami yang ini enak dimakan dengan ditambahkan atau dicocolkan ke gula cair. Dan, suami jenis ketiga adalah suami yang tidak memakai apa-apa. Jenis suami yang seperti ini dimakan dengan lauk seperti ikan maupun colo-colo (sambal khas Ambon).
Selesai sudah sarapan pagi. Rancangan kegiatan pagi hingga petang sudah saya pikirkan secara matang jauh hari sebelum acara menjelang.
Acara inti adalah menjadi narasumber dan menghadiri undangan resmi dari OJK Pusat dimulai dengan makan siang hingga selesai sekitar pukul 16.30 WIT. Acara mengenalkan profesi aktuaris kepada mahasiswa Unpatti, para dosen, siswa SMA dan juga para pengajarnya.
Nah pagi harinya, Kantor OJK Maluku akan menggelar perayaan HUT OJK ke-8 dimulai pukul 09.00 WIT. Tentu saya terlebih dahulu mohon ijin kepada Ibu Anggar B Nuraini (Deputi Komisioner Pengawas IKNB I, OJK) dan Pak Bambang Hermanto (Kepala OJK Maluku) untuk turut hadir di acara tersebut. Saya ingin mengucapkan selamat dan sukses untuk OJK secara langsung.
HUT OJK di KOJK Maluku dirayakan dengan kesederhanaan yang tak biasa. Namun tetap nampak meriah, diisi berbagai acara.
Ada lomba karya tulis yang diikuti para siswa SMA di Maluku. Juga donor darah yang diikuti banyak pendonor. Selain itu ada juga kegiatan OJK Mengajar serta live music yang menemani semua aktivitas sepanjang pembukaan HUT OJK. (bersambung)
Salam NKS: Nikmati Kelezatan Suami