Bank Wakaf Mikro, Model Grameen Bank Ala Indonesia

Jumlah Bank Wakaf Mikro (BWM) di Tanah semakin bertambah. Pada Jumat, 1 Nopember 2019, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meresmikan dua BWM baru, yaitu BWM Al Hijrah Cindai Alus Banjarbaru, Kalimantan Selatan dan BWM Mantenan Aman Makmur, Blitar, Jawa Timur. Dua BWM baru itu menambah panjang daftar BWM di Indonesia. Sebelumnya, hingga Oktober 2019, sudah berdiri sebanyak 54 BWM yang tersebar di 16 provinsi.

Total pembiayaan dan jumlah nasabah BWM juga merangkak naik. Pada Juli 2019, misalnya, tercatat 52 BWM yang tersebar di 15 provinsi. Nilai total pembiayaan BWM itu sebesar Rp 24,9 miliar dengan jumlah nasabah sebanyak 19.543 nasabah. Sedangkan hingga Oktober 2019, total nilai pembiayaan yang telah disalurkan BWM sebesar Rp 29,33 miliar kepada 22.668 nasabah di seluruh Indonesia. Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi provinsi yang paling banyak jumlah BWM dibanding provinsi lainnya.

BWM sendiri merupakan program yang diinisasi Presiden Joko Widodo kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mulai bergulir sejak dua tahun lalu, tepatnya Oktober 2017, bersamaan dengan peresmian program ini. Program BMW merupakan komitmen pemerintah dan OJK membuka secara luas akses bagi masyarakat kecil yang selama ini tidak tersentuh lembaga keuangan formal untuk mendapatkan permodalan. Kehadiran BMW ini untuk mendorong usaha ekonomi mikro rakyat yang kerap terganjal mendapatkan sumber pendanaan yang murah dan mudah untuk mengembangkan usahanya.

Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi membuat kelompok masyarakat marjinal terutama di pedesaan tidak dapat mengakses layanan perbankan ketika mengajukan pinjaman modal usaha. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2019 mencatat penduduk miskin Indonesia masih 9.41% atau sebesar 25,14 juta orang. Sedangkan tingkat ketimpangan (data BPS pada Maret 2019) adalah sebesar 0,382. Artinya, kemiskinan dan ketimpangan (ketidakadilan) dalam mendapatkan kesempatan atau peluang dalam kegiatan ekonomi masih menjadi persoalan utama di Indonesia.

Di sisi lain, fungsi lembaga keuangan adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan, pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan melawan praktik rentenir di tengah-tengah masyarakat. Berangkat dari persoalan itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan pilot project yang bernama Bank Wakaf Mikro (BWM). BWM adalah lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) dengan fokus utama memberikan pembiayaan pada masyarakat marjinal. BWM hadir di tengah masyarakat marjinal untuk menyediakan akses bantuan modal usaha melalui pinjaman lunak tanpa agunan.

Bentuknya sebagai lembaga keuangan non-bank berbentuk mikro syariah maka BWM tidak berada di bawah naungan Bank Indonesia. BWM berada di bawah OJK. Karena itu, pengawasan dan pemberian izin pendirian BWM menjadi kewenangan OJK. Dalam program BWM, OJK tidak bergerak sendiri. OJK menggandeng dan berkolaborasi dengan beberapa institusi lain seperti Lembaga Amil Zakat Nasional (Laznas), koperasi, pondok pesantren, termasuk melibatkan tokoh masyarakat.

Misalnya, dalam hal modal untuk BWM, OJK bekerjasama dengan Laznas dan mendapat dana dari donatur berupa dana sosial dari nasabah Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Corporate Social Responsibility (CSR), infaq, dan wakaf. Karena itu dalam bank ini disematkan kata “wakaf” yang bisa diartikan sebagai modal yang diwakafkan kepada pengelola (nadzir yang diserahkan wakaf) untuk kepentingan memajukan umat. Untuk mendirikan satu BWM diperlukan “wakaf” dana antara Rp 3 miliar hingga Rp 4 miliar. Dana itu tidak semuanya disalurkan menjadi pembiayaan. Sebagian atau sekitar Rp 3 miliar disimpan dalam bentuk deposito di bank umum syariah. Sisanya untuk operasional BWM termasuk pembiayaan atau pinjaman kepada nasabah.

Kolaborasi lainnya adalah dengan pesantren untuk penyelenggaraan BWM. Mengapa pesantren? Pasalnya pesantren memiliki potensi sangat besar untuk pemberdayaan umat, mengentaskan kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan ekonomi di masyarakat. OJK menggunakan strategi pesantren sebagai pengelola BWM karena pesantren diharapkan menjadi basis ekonomi masyarakat marjinal (pedesaan) di sekitar pesantren. Berdasarkan data dari Kementerian Agama (tahun 2018) tercatat sebanyak 28.194 pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia. Andaikata setiap pesantren berdiri satu BWM, bisa dibayangkan potensi untuk menggerakkan ekonomi masyarakat marjinal (pedesaan) yang sebagian besar berusaha di sektor pertanian, perdagangan, dan industri kecil rumah tangga.

Tapi, memang tidak semua pesantren bisa mendirikan BWM. Ada persyaratan dan kriteria bagi pesantren yang akan mendirikan BWM. OJK dibantu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melakukan “studi kelayakan” atau penilaian bagi pesantren untuk mendirikan BWM, di antaranya apakah ada kebutuhan pesantren untuk membantu masyarakat sekitar, apakah memang diperlukan pembiayaan untuk ekonomi di segmen mikro dan bagaimana produktifitas usaha mikro itu, lalu soal komitmen dan kesiapan pesantren (termasuk sumber daya manusianya).

Bagaimana skema peminjaman di BWM? Pertama-tama BWM akan menseleksi calon nasabah. Bila memenuhi persyaratan maka BWM akan melakukan pelatihan dan pendampingan kepada nasabah. Nasabah BWM dibuat per kelompok. Dengan kata lain, pembiayaan atau pinjaman untuk per kelompok sehingga “ditanggung renteng” bersama-sama. Pembiayaan atau pinjaman dilakukan tanpa agunan. Nilai maksimal pinjaman adalah Rp 3 juta. Sedangkan margin bagi hasil dengan BWM sebesar 3% per tahun. Pinjaman dari BWM itu sendiri tanpa bunga.

Grameen Bank

Melihat pola dan skema pembiayaan BWM atau Lembaga keuangan Mikro Syariah (LKMS) kepada nasabah mengingatkan kita pada Grameen Bank. Model BWM hampir mirip dengan Grameen Bank yang dipelopori peraih Nobel Muhammad Yunus dari Bangladesh. Grameen Bank adalah institusi kredit mikro yang didirikan Muhammad Yunus untuk masyarakat kurang mampu (miskin) tanpa agunan (kolateral) untuk membantu usaha-usaha yang sangat mikro. Grameen Bank pun didasari latarbelakang sulitnya masyarakat marjinal (miskin) mendapatkan akses perbankan formal.

Grameen Bank menggunakan model pembiayaan atau pinjaman kepada kelompok sehingga pinjaman ditanggung renteng sesama anggota kelompok. Misalnya, jika ada anggota kelompok yang tidak dapat membayar angsuran pembiayaan maka semua anggota akan bergotong royong atau patungan bersama-sama membayar senilai angsuran salah satu anggota yang gagal bayar. Jika sudah mampu, anggota yang dibayarkan tadi akan kembali menggantikan uang anggota lain. Model ini juga diadopsi BWM.

Muhammad Yunus mendirikan Grameen Bank untuk memberdayakan masyarakat miskin. Praktik Grameen Bank bertolak belakang dengan perbankan pada umumnya. Jika bank umum mengharuskan ada jaminan, Grameen Bank tidak mensyaratkan agunan atau kolateral. Grameen Bank lebih menyukai nasabah yang miskin. Semakin miskin maka semakin diberdayakan oleh Grameen Bank. Mayoritas segmen nasabah Grameen Bank adalah perempuan.

Setelah meraih gelar doktor di bidang ekonomi dari Vanberbit University di Tennessee, Amerika Serikat, dan menimba pengalaman mengajar sebagai asisten professor di Middle Tennessee State University, Muhammad Yunus kembali ke Bangladesh. Ia melihat wajah kemiskinan yang sangat nyata dan akut di negaranya.
Yunus pun mengobservasi. Hasilnya, mayoritas masyarakat miskin, termasuk ibu-ibu pembuat kerajinan bambu, terjerat pinjaman dari lintah darat. Pinjaman lintah darat lokal itu berbunga 10% per minggu atau 520% per tahun. Yunus pun berpikir andaisaja masyarakat miskin memiliki akses terhadap pinjaman yang menawarkan suku bunga rendah.

Dalam benak Yunus terlintas solusi untuk menyediakan kredit atau pinjaman bagi orang miskin. Ia kemudian mengajukan pinjaman ke bank dalam jumlah besar, kemudian dana tersebut disalurkan kepada masyarakat miskin dalam bentuk kredit mikro. Dia merancang skema pinjaman untuk usaha mikro itu. Yunus mensyaratkan pemohon pinjaman terlebih dulu membentuk kelompok yang terdiri dari lima orang. Anggota kelompok tidak dapat meminjam secara bersamaan tetapi harus secara bergiliran. Anggota lain hanya bisa meminjam jika anggota yang meminjam lebih dulu telah dapat membuktikan kedisiplinan dalam membayar cicilan. Selain itu, ada pula mekanisme tanggung renteng. Jika anggota kelompok sedang dalam kondisi tidak bisa membayar cicilan, anggota lainnya akan patungan untuk membayarkan cicilan anggota yang kesulitan itu. Ternyata tingkat pengembalian pinjaman cukup tinggi, yakni 99%.

Yunus pun memperbesar skala usaha Grameen Bank. Pada awalnya pendanaan Grameen Bank berbasis hibah atau pinjaman dengan suku bunga rendah. Setelah menunjukkan kinerja yang baik selama 10 tahun, Grameen Bank menggalang ekspansi usaha melalui penjualan obligasi. Sejalan dengan perputaran usaha yang sudah maju, sumber dana Grameen Bank yang berasal dari dana-dana sosial (hibah atau pinjaman lunak) pelan-pelan menghilang diganti dengan sumber dana komersial. Aset kekayaan Grameen Bank pun semakin besar yang bisa diagunkan.

Usaha Grameen Bank mulai menggurita. Pada tahun 2014 Grameen Bank sudah memiliki 2.914 cabang, hampir 22.000 karyawan, 8,54 juta anggota, dan total aset sekitar USS 2,3 miliar. Tingkat pengembalian kredit tetap terjaga di atas 95%. Grameen Bank sudah memiliki 168 replika di 44 negara, termasuk Amerika dan Kanada.

Apakah BWM bisa seperti Grameen Bank? Tentu ada perbedaan dan persamaan antara BWM dengan Grameen Bank. Persamaan antara BWM dengan Grameen Bank bisa dilihat terutama dalam filosofi mengentaskan kemiskinan, sasaran masyarakat miskin, fokus pada usaha mikro, pinjaman tanpa agunan, skema pinjaman per kelompok, dan pendampingan. Melihat persamaan itu bisa dikatakan pada aspek tertentu BWM menjadi replika dari Grameen Bank.

Tapi, perbedaannya, pendanaan Grameen Bank dari komersial sedangkan BWM masih mengandalkan dana dari donatur mengingat BWM adalah lembaga keuangan non-bank bersifat non-formal yang berbentuk Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Sehingga tidak ada penyertaan dana lain di BWM. Dengan demikian sesungguhnya aset BWM tidak akan bertambah. BWM pun memang tidak didisain untuk menjadi seperti Grameen Bank yang menggurita dengan banyak anak usaha.

Toh keberadaan BWM ini paling tidak sudah dirasakan masyarakat marjinal. “Keberadaan BWM sudah dirasakan masyarakat kecil yang memanfaatkan pembiayaan dari BWM untuk tambahan modal usaha dan memperluas usahanya sehingga pendapatan ekonominya meningkat,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso ketika meresmikan BWM Al Hijrah Cindai Alus Banjarbaru, Kalimantan Selatan, awal Nopember lalu.

Tapi, tak urung, BWM juga masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Pertama, soal pendanaan. Modal untuk mendirikan BWM berasal dan bergantung dari donatur. Untuk mendirikan satu BWM dibutuhkan modal sebesar Rp 4,2 miliar. Untuk mencapai target 100 BWM pada tahun 2019 maka diperlukan dana sekitar Rp 420 miliar.

Kedua, soal sumber daya manusia (SDM). Untuk mengelola BWM diperlukan sumber daya manusia yang sudah terbiasa dengan sistem keuangan syariah dan berada di seputar pesantren. SDM untuk mengelola BWM di pesantren sangat terbatas. Selain itu, mencari kelompok yang mempunyai komitmen sebagai nasabah BWM juga masih sulit. Pengurus BWM pun seringkali ikut mencari dan menseleksi sendiri nasabah penerima BWM di sektor usaha mikro.

Ketiga, meskipun tingkat pengembalian pinjaman belum bisa diukur, perlu ditumbuhkan kedisplinan dalam membayar angsuran pinjaman dan menerapkan sistem tanggung renteng di antara para nasabah BWM. Keempat, program BWM dari OJK ini belum tersosialisasi secara menyeluruh kepada masyarakat. Banyak masyarakat kecil di pedesaan yang belum mendapat informasi tentang BWM sehingga perlu sosialisasi dan edukasi tentang BWM yang lebih gencar lagi.

Betapa pun kehadiran BWM bisa menjadi solusi bagi masyarakat marjinal. Kita berharap BWM terus bertambah dan menyebar untuk mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan di masyarakat. BS

About redaksi

Check Also

Ketua DPP PKS: Rendahnya Pendapatan Jadi Tantangan Kinerja APBN 2024

Jakarta, Koranpelita.com Ketua DPP PKS menanggapi paparan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan Anggaran Pendapatan dan Belanja …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca