Pada Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional yang jatuh hari ini 17 Oktober (diakui oleh PBB pada 1992, dan yang pertama sekali digelar di Paris Perancis pada 1987), dan kemarin, 16 Oktober adalah Hari Pangan Sedunia (didirikan oleh negara-negara anggota FAO pada konferensi umum ke-20 bulan November 1979), BAZNAS mengambil kesempatan untuk memperingati kedua hari penting tersebut, dengan mengenalkan Kajian Indeks Kesejahteraan BAZNAS: yaitu keluaran (output) dari hasil penyaluran dan pendayagunaan Zakat dihubungkan dengan Tingkatkan Kesejahteraan Mustahik.
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dalam dua tahun ini melakukan kajian Indeks Kesejahteraan BAZNAS untuk mengukur dampak dari penyaluran dana zakat kepada Mustahik. Hasilnya, program pendistribusian dan pendayagunaan BAZNAS terbukti meningkatkan kesejahteraan mustahik dalam bidang material, spiritual, pendidikan, kesehatan dan kemandirian.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua BAZNAS, Dr. Zainulbahar Noor dalam sambutannya pada Acara Public Exspose “Indeks Kesejahteraan BAZNAS” yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (17/10). Acara yang diikuti 50 peserta dari berbagai kota ini sekaligus memperingati Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional.
Turut hadir sebagai narasumber Direktur Pendistribusian dan Pendayagunaan BAZNAS, Dr Irfan Syauqi Beik dan Direktur Pusat Kajian Strategis (Puskas) BAZNAS, Dr Mohammad Hasbi.
Kajian dan perumusan ini sangat penting tidak saja untuk mengukur efektifitas pendistribusian zakat yang diamanahkan oleh UU No 23 Tahun 2011 kepada BAZNAS sebagai Lembaga Negara dengan tugas mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan masyarakat, tetapi juga untuk menyampaikan ke publik khususnya para muzaki atas hal-hal yang telah dilakukan BAZNAS atas total zakat yang terkumpulkan.
Pada sisi lain ukuran ini perlu untuk disampaikan, untuk dapat mengetahui bahwa dengan pendayagunaan zakat, kemiskinan dapat dientaskan. Namun, upaya tersebut tidaklah sebagai sesuatu yang mudah dan menggambarkan pengentasan kemiskinan secara nasional karena jumlah zakat yang terkumpul baru mencapai Rp. 8,1 Triliun (akhir 2018) yaitu hanya 2,3% dari potensi zakat 230 juta penduduk muslim Indonesia.
Dalam pada itu kesenjangan antara masyarakat miskin dan masyarakat kaya di tanah air semakin tajam, dalam ukuran Gini Ratio yang saat ini hanya sedikitdi bawah angka 4. Penelitian dari 3 lembaga dunia yang telah dipublikasikan secara luas menunjukkan bahwa 10% dari rakyat Indonesia menguasai 70% total aset nasional.
Di samping itu, pendapatan per kapita rakyat Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan BRISK hanya berada di atas Laos, Vietnam, Filipina, dan jauh berada di bawah Singapura, Malaysia, Brazilia, Rusia.
“Melalui Indeks Kesejahteraan BAZNAS memotret program penyaluran zakat dalam kategori baik dengan nilai 0,71. Dari sisi pendapatan, definisi baik ini berarti bahwa para mustahik yang menerima dana zakat telah berada di atas garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah, bahkan sebagian bisa jadi ada di atas nishab, dengan 4.000 sample mustahik yang mendapatkan pendistribusian dan pendayagunaan zakat melalui BAZNAS dari 140.000 mustahik penerima manfaat zakat” kata Dr. Zainulbahar Noor. Suatu jumlah yang sangat kecil dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang masih berada di garis kemiskinan 25 juta (data BPS).
Ia mengatakan, hasil kajian ini menjadi cermin bagi BAZNAS untuk melakukan analisis kondisi sekaligus mengevaluasi program pendistribusian dan pendayagunaan yang telah dilakukan.
Dengan data tersebut, dapat dirumuskan kebijakan untuk memperbaiki pola program penyaluran zakat selanjutnya, sehingga manfaatnya makin besar dirasakan oleh Mustahik.
“Indeks Kesejahteraan BAZNAS ini dibuat sebagai alat untuk mengukur kinerja program penyaluran zakat yang dilakukan BAZNAS sekaligus sebagai alat bagi masyarakat untuk memantau bagaimana proses penyaluran zakat BAZNAS selama ini,” katanya.
Dari hasil penelitan BAZNAS tersebut, diharapkan Pemerintah semakin memberikan perhatian penuh pada pelaksanaan pengumpulan zakat dari seluruh penduduk muslim Indonesia, agar dengan demikian penerima manfaat zakat akan menjadi lebih besar, dan penanggulangan kemiskinan dapat tercapai melalui pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Untuk itulah BAZNAS sangat mengharapkan Presiden dapat dengan segera mengeluarkan PERPRES Fasilitasi Pelaksanaan Pembayaran Zakat ASN melalui Kementerian Keuangan RI. Apabila hal tersebut tercapai BAZNAS akan dapat menampung jumlah pembayaran zakat ASN sejumlah belasan triliun rupiah pertahun. Lebih jauh dari itu diharapkan Pemerintah akan juga memberi kemungkinan pada pelaksanaan Amandemen atas UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Zakat.
Irfan Syauqi Beik mengatakan, kajian ini menjadi warna baru di dalam pengembangan teori yang terkait dengan ekonomi syariah.
“Ini adalah kontribusi BAZNAS terhadap dunia keilmuan, utamanya bidang ekonomi syariah. BAZNAS berharap kajian ini dapat memperkuat ilmu ekonomi syariah dimana zakat merupakan salah satu bagian pentingnya. Tentu kita juga berharap keilmuan ini terus berkembang melalui teori-teori baru seperti indeks Kesejahteraan ini,” katanya.
Ia mengajak masyarakat untuk turut mengontrol kinerja BAZNAS melalui kajian-kajian serupa.
“Masyarakat termasuk kalangan kampus bisa ikut menguji hasil lapangannya dengan melakukan riset menggunakan alat ukur yang sama yaitu Indeks Kesejahteraan BAZNAS. Sehingga ini sebagai alat kontrol juga bagi masyarakat dan stakeholder yang lain terkait dengan dinamika pendistribusian dan pendayagunaan zakat,” katanya.
Mohammad Hasbi mengatakan, kajian Indeks Kesejahteraan BAZNAS ini menggunakan tiga ukuran kesejahteraan, yakni Cibest (Center of Islamic Business and Economic Studies) dengan ukuran material dan spiritual. Human Development Indeks dengan ukuran pendidikan dan kesehatan serta kemandirian.
Ukuran Indeks Kesejahteraan BAZNAS berkisar antara 0 sampai dengan 1 yang terbagi dalam 5 urutan kategori yaitu tidak baik, kurang baik, cukup baik, baik dan sangat baik.(dohan)