Diskusi dimulai, setelah saya izin berdiri (yang ternyata tetap tidak membantu saya untuk lebih tinggi). Pertanyaan moderator menjadi titik tumpu untuk bercerita.
Jadi, saya mulai ceritakan dari telepon anak bungsu yang ngekos di Surabaya. Telepon ke ibunya, tapi protes ke bapaknya. Dengan tegas, si bungsu yang mulai dewasa itu, tidak setuju dengan terbitnya buku NKS. “Kenapa ayah berubah sekarang ya. Yang aku tahu ayah tidak ingin dikenal banyak orang. Tapi kini mulai lebay.” Kalimat itu, lumayan nylekit alias menohok ulu hati saya.
Barangkali benar. Saya mulai lebay. Sebab, saat itu, mulai mengenalkan jadwal kehadiran buku NKS di sosial media. Tapi tidak bisa dibatalkan. Buku sudah naik cetak. Yang bisa saya lakukan hanya berusaha memberi penjelasan kepada keluarga.
Rupanya, wabah protes atas kelahiran NKS meluas. Tidak hanya terjadi di rumah, tapi juga di lingkungan yang lebih lebar. Keputusan membuat buku biografi ini, bahkan diperdebatkan oleh beberapa sahabat dekat yang kini ada di posisi penting di sejumlah institusi.
Saya tahu maksud mereka, baik. Agar keputusan penulisan itu difikirkan secara matang, apalagi jika penerbitan buku NKS itu untuk tujuan politik. Meluruskan niat, kira-kira begitu pikiran positif saya.
Tapi ya meski berusaha berfikiran positif, jujur saja, tetap ada goresan luka di hati saya, mendengar pertanyaan-pertanyaan banyak kalangan. Serius. Pertanyaannya, membuat telinga memerah. Saya agak takjub juga, begitu hebatkah pengaruh sebuah buku sehingga saya ‘diadili’ begitu rupa.
Pertanyaan-pertanyaan yang membuat kuping berdenging itu seperti ini: Mengapa waktu menulis buku NKS itu sekarang? Inikah pencapaian tertinggi sehingga perlu dibuat biografi? Bukankah biasanya biografi itu ditulis setelah sang tokoh meninggal dunia? Berapa persen fakta dan kebenaran yang ditulis dalam buku itu? Adakah kisah hidup yang sengaja ditutupi atau tidak ditulis? Apakah ini cara mengenalkan sosok NKS pada publik, sehingga bisa melanjutkan posisi tertentu? Atau, apakah ini cara agar bisa menuju ke KP 1, Bupati Kulon Progo?
Begitulah. Sedulur NKS (ini istilah yang mudah-mudahan bisa menjadi wadah bagi jaringan para penikmat buku NKS), setiap langkah yang berbeda dari kebiasaan, berbeda dari yang lain, akan menjadi perdebatan. Tapi jangan takut didebat dan ditentang, karena hanya perlu penjelasan kecil agar ditemukan kesamaan pandangan. Tentu, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk setuju, namun setidaknya, mereka paham dengan niat kita.
Terus terang, saya sendiri tidak tahu apa tujuan menulis buku NKS. Awalnya, saya hanya ingin menandai momentum usia yang tidak lagi belia. Buku ini, saya anggap sebagai hadiah untuk diri karena di masa kecil hadiah ulang tahun itu hanya sebuah mimpi.
Tapi jika ingin jawaban yang agak ‘wah’ ya, ada keinginan yang kuat dalam diri untuk memotivasi sahabat, kerabat, dan (terutama) anak-anak muda dengan latar belakang ekonomi yang kurang mampu untuk bangkit dan punya mimpi yang wajib diwujudkan.
Buku ini berusaha menginspirasi Sedulur NKS di kampung halaman, di Sumba, di Ternate, dan wilayah Indonesia lainnya bahwa kita tidak boleh menyerah pada keadaan. Kita bisa meraih kesuksesan jika kita bersungguh-sungguh mengubah ketidakberadaan dengan kerja keras, tak kenal lelah, dan doa.
Ada satu lagi alasan (yang agak spiritual) bahwa buku NKS juga dimaksudkan sebagai ucapan terimakasih kepada dua orang hebat yang membimbing dan menuntun saya untuk menjadi saya seperti saat ini: almarhum Bapak & almarhumah Simbok saya.
Kedua orangtua saya itu, nyatalah orang-orang hebat, guru, serta role model bagaimana menjalani hidup agar berguna bagi banyak orang.
Selain kepada bapak-simbok, NKS juga persembahan untuk saudara kandung dan saudara sepupu yang selalu membantu, guru sekolah formal dan informal, atasan sewaktu di Kementerian Keuangan dan di OJK, rekan kerja dan bawahan.
Saya tidak akan pernah bosan mengatakan bahwa bawahan juga penting karena mereka yang mensupport dan membantu kita. Lagi pula kalau atasan tanpa bawahan, yang ada hanya malu.
Baik. Urusan protes dan pertanyaan apa tujuan menulis buku, biasanya selesai sampai di situ. Lalu, urusan berikutnya adalah judul Nami Kulo Sumarjono. Banyak yang menyebut judul yang menggelitik. Juga, model tulisan, foto, dan gaya busana yang dipakai.
Sebenarnya, banyak cerita rahasia di balik lahirnya sampul buku yang akhirnya bisa sedulur NKS lihat saat ini. Salah satunya (mohon maaf pada pak penulis, terpaksa harus dibongkar rahasianya) foto ini dibuat iseng dengan properti seadanya. Semua hanya yang ada di lemari, selain dasi kupu-kupu yang baru dibeli.
Tentang blangkon, dasi kupu-kupu, baju putih, dan jas hitam, yakinlah dipilih bukan tanpa maksud. Juga judul buku yang ngejreng dengan huruf kapital yang besar-besar.
Ada diskusi panjang antara saya dan penulis mengenai ini. Saya ingin tulisannya kecil saja, tapi dengan pertimbangan siapa saya, maka tulisan dibuat kontras agar orang langsung bisa baca. Berbeda dengan tokoh-tokoh yang sudah terkenal, dengan judul kecil orang sudah tahu sosoknya. Jadi, doakan suatu hari nanti, saya akan menulis buku dengan judul yang kecil-kecil saja.
Nami Kulo Sumarjono akhirnya dipilih karena rasanya pas untuk menggambarkan bahwa saya lahir dan tumbuh di sebuah dusun. Dusun yang ndeso dan penuh perjuangan bahkan sekadar untuk hidup.
Alhamdulillah, kini, setiap tugas ke daerah atau ke luar negeri, buku NKS selalu menjadi teman sekaligus penyelamat di saat suasana kaku, tegang, atau tidak nyaman. NKS juga menjadi hadiah khusus jika bertemu teman atau relasi.
Bukan mau jumawa jika saya menyebut, NKS sudah sampai ke beberapa negara. Saya sambil bercanda kepada orang Jepang atau warga negara asing lainnya bahwa kalau di Jepang buku NKS ini berjudul “Watashi No Namae Wa Sumarjono”. Atau kalau di korea menjadi “Je Ireumeun Imnida Sumarjono”. “My Name’s Sumarjono” ketika sampai di Australia atau negara yang berbahasa Inggris.(bersambung)