Oleh: Dr. H. Joni. SH.MH.
KERUSUHAN yang melanda beberapa titik di Jakarta menyambut pengumuman KPU terhadap hasil pemilu, khususnya Pilpres 2019 menyisakan duka. Data yang bersumber dari pernyataan gubernur DKI Jakarta ada 6 orang meninggal dan sekitar 200 an menderita luka dan dirawat di Rumah Sakit. Kerusuhan itu sendiri menjadi berita halaman muka beberapa media cetak mainstream asing.
Kendatipun tidak terucap, umum berpendapat bahwa kerusuhan yang terjadi khususnya di depan Gedung Bawaslu itu dilakukan oleh kelompok orang yang tidak bisa menerima hasil Pilpres. Dinilai terjadi penyimpangan atau pelanggaran yang bersifat terstruktur masif dan sistematis, bahkan brutal. Oleh karena hanya ada 2 kubu, maka mana lagi yang ditunjuk kalau bukan Prabowo Sandi.
Pernyataan Prebowo
Beberapa poin dari pernyataan Pabowo yang disampaikan memang bersifat normatif. Standar dan seolah tidak ada yang baru. Namun beberapa hal menarik yang kiranya layak menjadi perhatian dan tindak lanjut adalah, pertama bahwa Prabowo yang menyampaikan langsung terhadap pernyataan resminya ini mengucapkan bela sungkawa. Kedua, meminta semua pihak menahan diri dan tidak mengeluarkan pernyataan yang memprovokasi. Dia mengatakan mereka selalu mendukung penyampaian pendapat secara konstitusional, damai, dan tanpa kekerasan.
Prabowo menyebut permintaan tersebut ditujukan kepada kepolisian, Tentara Nasional Indonesia, pejabat publik, politikus, tokoh masyarakat, dan para tokoh agama. Tak terkecuali para netizen dan seluruh anak bangsa untuk menghindari kekerasan verbal yang dapat memprovokasi. Apa lagi di bulan Ramadan yang baik dan suci ini harus dihindarkn hal hal yang besifat negatif.
Ketiga, Prabowo berharap peristiwa kekerasan dalam aksi massa yang ricuh itu tak terulang. Dia menyebut peristiwa itu telah mencoreng marwah dan martabat bangsa Indonesia. Manakala hal ini sampai terjadi lagi maka sangat mungkin bahwa rajutan dan anyaman kebangsaan Indonesia bisa rusak dan sangat sulit untuk diperbaiki.
Keempat, sebagai konsekuensi dari hal yang secara tidak langsung menunjuk dirinya sebagai pangkal kerusuhan, mengajukan permintaan kepada penegak hukum, baik kepolisian maupun TNI agar mengayomi dan mendamaikan rakyat, serta tak menjadi alat kekuasaan. Sebaliknya pesan yang ditujukan kepada para pendukungnya yang menggelar aksi agar tidak melakukan kekerasan. Bukan berarti cuci tangan tetapi dengan pernyataan demikian setidaknya menjdi sinyal bahwa kekerasan yang dilakukan itu di luar kapasitas dan rengkuhan kewenangannya.
Langkah lanjut
Tak terelakkan bahwa kerusuhan terjadi karena merupakan puncak kekecewaan dari pelaksanaan Pemilu yang dinilai tidak luber dan tidak jurdil, bahkan cenderung brutal. Untuk itu setidaknya ada dua hal yang harusnya menjadi focus aparat keamaan.
Pertama, mengusut tuntas terjadinya kerusuhan dimaksud, karena indikasi terjadi pelanggaran hukum yang menjurus kepad SARA. Misalnya penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan keamanan, khususnya Brimob ke areal masjid dll.
Berikutnya juga mencari dan menemukan pembunuh dari 6 korban dan hal lain yang terjadi di sekiar kerusuhan.
Penegakan hukum harus dilakukan secara tuntas. Oleh karena yang menjadi alamat kesemuanya itu adalah Polisi, maka bijak jika segera dibentuk tim khusus pencari fakta yang terdiri dari tokoh masyarakat dan institusi yang tidak memihak, minus polisi. Mereka mengumpulkan fakta yang harus ditindaklanjuti sampai kepada putusan yang bersifat eksekutorial tentang siapa harus bertanggungjawab atas kerusuhan dimaksud.
Kedua, secara substantif harus diklarifikasi berikut solusinya, dari paparan senyatanya terhadap pelaksanaan Pemilu di luar institusi resmi yaitu Mahkamah Konstitusi. Fakta hukum terhadap sinyalemen terjadinya pelanggaran yang bersift sistematis massif dan terstruktur itu nantinya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh MK ketika akan mengambil keputusan.
Hal ini menjadi satu keniscayaan, sebab Bawaslu dinilai tidak obyektif lagi dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Satu dan hal lain hal bisa dipahami karena dalam struktur regulasi Bawaslu kerupakan penyelenggara Pemilu bersama KPU. Sementara biang pelanggaran itu alamatnya adalah KPU. Artinya Bawaslu tidak mampu melakukan tindakan berarti terhadap KPU.
Ketika penyimpangan terjadi dan tidak ada tindakan yang adil, berarti pemerintah secara umum tidak bisa memecahkan permasalahan yang terjadi. Untuk itu harus ada mekanisme alternatif yang diambil, ketika kebuntuan terjadi dan cenderung chaos. Salah satu diantaranya secara sosiologis diperlukan nego politik antara dua kubu, saling silaturahmi menjelang Ramadan ini, sebagai bentuk dari prinsif kalah menang harus mendukung atau bersatu.
Kendatipun jalan ini relatif ruwet namun masih lebih baik dibandingkan dengan kemelut terus berkepanjangan tanpa solusi yang secara adil bisa diterima oleh semua pihak. (Penulis, sebagai pengamat hukum, sosial dan politik tinggal di Sampit)