Masjid Jogokariyan memang fenomenal. Namanya tidak lazim, tidak biasa dipakai sebuah masjid di Nusantara.
Masjid di Indonesia memakai Asmaul Husna, Al Furqon, As Salam atau nama yang merujuk kata sifat Al Muhajirin, Al Anshor atau yang lainnya.
Masjid Jogokariyan khas Jogjakarta, mengambil nama tempat di kawasan Jogokariyan. Asal katanya jogo dan karyo berubah menjadi kata sifat, Jogokariyan.
Pengurus Masjid Jogokariyan juga fenomenal, tidak menumpuk uang jamaah dalam kotak atau rekening bank.
Semua infak jamaah dihabiskan untuk kepentingan jamaah juga. Masjid memiliki basis data jamaah, berapa aghniya dan dhuafa.
Kebijakan pengurus justru mendatangkan berkah, setiap kali infak dihabiskan justru datang infak yang lebih besar. Jamaah masjid memperoleh pelayanan prima.
Fenomena lain berangkat dari sejarah. Di zaman Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat salah satu andalan utamanya Bregodo Prajurit Jogo Karyo, tugas utamanya menjaga kondusivitas kerajaan.
Kini di era Republik Indonesia. Prajurit Keraton Yogyakarta tidak lagi sebagai kesatuan-kesatuan tentara tangguh sebagai pasukan tempur.
Prajurit keraton Yogyakarta berasal dari prajurit-prajurit tangguh Kerajaan Mataram yang pernah menyerang Batavia di bawah komando Sultan Agung Hanyokrokusumo. Keraton Yogyakarta bersama Kasunanan Surakarta mewarisi dari kerajaan Mataram yang tangguh dan prajurit-prajurit terpilih.
Prajurit Kasultanan Yogyakarta terlibat langsung dalam pertempuran melawan Belanda dan Inggris.
Kasultanan Yogyakarta melebur dalam Republik Indonesia, prajurit keraton Yogyakarta sebagai prajurit pelestari budaya, bukan lagi prajurit tempur.
Kini Prajurit Jagakarya menempati barisan keempat dalam defile setelah prajurit keraton Jogjakarta yang lain.
Prajurit Wirobrojo, Prajurit Dhaeng dan Prajurit Patangpuluh di bagian depan baru disusul prajurit Jogokarya.
Jogokarya berasal dari kata Jaga dan Karyo, Jaga berarti menjaga, karyo berarti tugas atau pekerjaan. Prajurit Jagakaryo pasukan yang mengemban tugas untuk mengamankan jalannya kerajaan.
Kesatuan Jogokarya di Keraton Yogyakarta terdiri empat perwira berpangkat panji, dengan delapan bintara berpangkat sersan dan 72 prajurit serta satu prajurit pembawa dwaja yang berupa Kanjeng Kyai Trisula.
Seragam prajurit Jagakaryo adalah Topi Hitam bentuk tempelengan yang prajurit jogokaryo terlihat seperti kapal terbalik, Destar atau ikat kepala berwarna wulung, rompi berwarna krem atau kuning emas, beskap lurik lupat lapis warna merah, sayak lurik, lonthong atau ikat pingang dalam warna merah dan Kamus atau ikat pinggang luar berwarna hitam.
Sedangkan celana panji lurik, menggunakan kaos kaki panjang, sepatu pantopel warna hitam .
Senjatanya bedil, tombak serta keris branggah. Sedangkan perangkat musiknya tambur, seruling dan terompet. Iring- iringan saat berjalan menggunakan Mares Slanggunder. Sedangkan untuk jalan cepat menggunakan Mares Tamengmaduro.
Fenomena Masjid Jogokaryan
Masjid Jogokaryan dibangun tahun 1966 dan mulai digunakan 1967. Nama masjid diambil dari nama kampung tempat masjid berdiri yakni Kampung Jogokariyan. Tepat di Jalan Jogokariyan 36, Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta
Nabi Muhammad SAW memberi nama masjid sesuai dengan tempatnya. Rasulullah berdakwah di Quba, membangun Masjid Quba, beliau berdakwah di Bani Salamah, masjidnya juga namanya Bani Salamah sesuai dengan nama tempatnya.
Pedagang batik dari Karangkajen, Yogyakarta membangun mushala. Awalnya terletak di selatan Kampung Jokogkariyan, takmir masjid pertama Ustadz Amin Said mengusulkan untuk memindahkan masjid ke tengah kampung.
Perkembangan selanjutnya Masjid Jogokariyan berdiri di sudut perempatan kampung.
Pembangunannya bertahap. Awalnya masjid terdiri bangunan inti, setelah tahun 2006, pengurus masjid mendirikan Islamic Center di sisi timur bangunan utama.
Tahun 2006, ada sebuah rumah warga di sebelah masjid yang runtuh. Pemiliknya menawarkan pihak masjid untuk membeli lahan sehingga luas kompleks masjid bertambah.
Dari penawaran itu kemudian pihak masjid membuka kesempatan infaq bagi siapapun yang berkenan.
Di Islamic Center Masjid Jogokariyan inilah segala kegiatan pelayanan jamaah banyak dilakukan. Ada 28 divisi yang bekerja. Di antaranya biro klinik, biro kaut, dan komite aksi untuk umat.
Banyaknya kegiatan di masjid Jogokariyan membuat masjid tak pernah sepi. Meski di luar Bulan Ramadan, jamaah salatnya selalu ramai.
“Banyak yang studi banding. Beberapa tahun lalu, parlemen Eropa ke sini. Pernah juga ulama Palestina berkunjung,” jelas salah seorang pengurus.
Prinsip yang dipegang para pengurus masjid dan masyarakat sekitar. Pengurus masjid bukan sekedar mengurus masjid tapi juga melayani jamaah.
“Kita punya klinik, ada divisi-divisi yang langsung ke masyarakat. Kotak infaq yang besar dan lubangnya juga besar, kalau ada yang mau ngasih Rp 5 juta juga masuk,” kata pengurus lainnya.
Masyarakat melihat bagaimana uang dari infaq berputar untuk kepentingan jamaah. Dan menurutnya, sudah seharusnya seperti itu. Uang perolehan infaq seharusnya segera digunakan untuk keperluan umat.
“Bukan diendapkan, tapi selalu diputar. Selalu ada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk jamaah,” tuturnya.