Saya dengan Pak Sumarjono itu, banyak samanya: sama-sama wong Kokap, jadi sama-sama wong ngggunung, terus, sama-sama tukang ngarit.
Oleh: dr Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) Bupati Kulon Progo
Saya tinggal di Klepu, waktu kecil. Ini masuk Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap. Jadi tidak jauh dari Nganjir, dusunnya Pak Sumarjono yang masuk wilayah Desa Hargorejo. Dua desa itu bertetangga karena masih sama-sama di kecamatan Kokap. Jadi sudah jelas, saya dan pak Jono, sama-sama orang nggunung.
Nganjir itu dekat dengan Tuk Mudal. Sekarang Tuk Mudal menjadi destinasi wisata yang kondang. Semua orang ingin melihatnya sambil menikmati air jernih Mudal yang tak pernah kering sepanjang masa. Nah, tempat tinggal saya, di Klepu, Hargowilis yang dekat dengan Waduk Sermo, sekarang juga sudah jadi tempat wisata yang top banget.
Lalu, kalau Pak Jono menyebut diri tukang ngarit, saya juga sama. Ngarit sudah seperti jalan hidup yang tidak bisa dirubah. Tanpa ngarit, tak ada masa depan. Jika Pak Sumarjono ngarit pakai trek sampai Purworejo, saya ngarit sambil angon sapi naik turun gunung sampai sapinya lempoh.
Persamaan lainnya yang agak menghibur, Pak Jon alumni SMA Negeri 1 Wates, saya juga lulusan sekolah yang ada di wilayah Terbah itu. Hanya, saya lebih tua, lulus tahun 1983, sedang Pak Jon lulus 1987. Jadi satu guru satu ilmu dilarang saling menganggu.
Tapi meski banyak persamaannya, bahkan ada persamaan yang bergengsi (karena sama-sama alumni SMA N 1 Wates), Pak Sumarjono jauh lebih enak karena bisa berubah menjadi orang kota, sedang saya tetap wong ndeso. Itu terjadi, setelah kami sama-sama lulus SMA. Saya tetap di Kulon Progo dan kuliah di Jogja yang tetap terasa ndeso. Lha Pak Jon langsung pindah ke kota Bandung, masuk kampus tempat orang-orang top di negeri ini.
Karena saya kuliah di kampus ndeso, ya pekerjaannya juga dari desa ke desa. Beda dengan Pak Sumarjono yang setelah kuliah di Bandung, dapat pekerjaan mentereng di Jakarta, tempatnya orang-orang menerima berlimpah berkah.
Namun demikian, terlepas dari persamaan dan perbedaan, saya berharap, Pak Jono bangga menjadi wong nggunung, sebesar kebanggaan saya sebagai wong nggunung. Kulon Progo, rasanya juga harus berterima kasih kepada cah-cah nggunung. Sebab, sekarang ini, dataran tinggi Menoreh, adalah primadona wisata yang menghasilkan pendapatan.
Apa saja yang berasal dari gunung, bisa dijadikan tujuan wisata. Tuk Mudal, di dekat rumah pak Jon, dulu adalah mata air yang hanya dimanfaatkan orang-orang di sekitarnya. Tapi saat ini, siapa saja ingin merasakan sejuknya Tuk Mudal. Begitupun Waduk Sermo, yang tidak jauh dari rumah masa kecil saya. Apalagi saat ini sudah ada Kalibiru di atas Sermo. Juga desa wisata lain yang sumebar di semua sudut bukit.
Kemajuan teknologi yang mampu dimanfaatkan anak-anak muda Menoreh, nyatalah telah memberi panggung untuk wong nggunung. Dan, ke depan, ketika Bandara Kulon Progo sudah beroperasi, Menoreh akan semakin memberi bungah.
Saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ini. Dari judulnya saja, sudah sangat menggelitik. Inilah buku yang bisa menjadi catatan sejarah untuk melongok perbukitan Menoreh di masa silam, sebelum akhirnya, menjadi daya tarik pelancong dari seluruh Nusantara.
Membaca buku ini, kok rasa-rasanya, saya juga sedang ngilo atau berkaca di cermin yang besar sekali. Perjalanan hidup Pak Sumarjono, hanya dibedakan oleh waktu kejadiannya saja. Karena selebihnya, semua sama seperti cerita hidup saya yang ngrekoso penuh loro-lopo. Maka mudah-mudahan, buku bagus ini, bisa menginspirasi siapa saja, terutama wong nggunung bahwa inilah saatnya wong nggunung naik panggung.(*)