Hari ini, 11 September 2018. Usia saya genap 50 tahun. Ada ritual kecil di rumah saya di Depok. Didampingi istri dan anak-anak, saya menerima bapak-bapak petugas keamanan, petugas kebersihan, dan Pak RT. Bukan acara semacam pesta ulangtahun yang besar, tapi sekadar kumpul-kumpul, ngobrol-ngobrol, terus foto-foto.
Selain syukuran kecil-kecilan, saya juga menuliskan pengantar ini. Pengantar untuk menandai rampungnya proses penyusunan buku yang bercerita tentang perjalanan saya sejak dari Nganjir (nama aslinya dusun saya itu adalah Anjir, tapi orang Jawa melafalkannya Nganjir). Lengkapnya kampung saya itu, Dusun Anjir, Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Rasanya kok baru kemarin meninggalkan kampung halaman saya di Nganjir. Semua masih terekam dengan sangat jelas setiap jejak kaki, ketika masih belajar berjalan, ketika sudah berlarian, ketika sekolah. Lalu ketika meninggalkannya untuk merantau di kota sebesar Bandung, ibukota tlatah Priangan yang tidak pernah saya bayangkan akan menjadi bagian hidup saya paling penting.
O ya, saya tidak tahu keinginan menulis sebuah buku ini untuk apa. Tapi ada dorongan yang kuat dari dalam diri, mungkin dengan buku ini dapat menginspirasi anak-anak muda desa bukan hanya di Kulon Progo tapi di Sumba, di Ternate, dan di wilayah indonesia lainnya.
Kita semua tahu, di wilayah-wilayah itu keterbatasan sangat nyata. Tapi seburuk apapun keterbatasan itu, dengan usaha keras, kita bisa mengubah takdir. Saat ini dan di masa depan, yang Indonesia butuhkan bukanlah orang yang pandai menuntut hak dari negara.
Semestinya, kita jangan hanya menuntut hak, namun sebaliknya: melakukan sesuatu agar kita bisa mengubah semua kesusahan anak bangsa menjadi lebih baik. Apa yang bisa kita berikan untuk negara kita. Apa yang bisa kita sumbangkan walau sedikit untuk lingkungan kita.
Lewat buku ini juga saya ingin menyampaikan rasa syukur atas seluruh nikmat yang diberikan kepada saya, selain ingin menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang sudah ikut membimbing dan bahkan membiayai seluruh proses menjadi diri saya hari ini.
Saya ingin membalas itu semua dengan sharing hal-hal positif atau kegiatan lainnya sebisa saya, mungkin tidak kepada yang membantu saya dulu tapi kepada siapapun. Toh, tokoh-tokoh penting di balik hidup saya, yakinlah, tidak pernah berpengharapan lain kecuali saya bisa bermanfaat untuk sesama.
Bersama mereka, saya bisa mendapatkan rasa bahagia. Misalnya saja, bersama simbok, wanita yang melahirkan saya dan membekali banyak pitutur dan doa-doa. Lalu bersama bapak, saya mendapat teladan kerja keras dan berdisiplin. Tentu saja, karena teladan bapak serta berkat doa simbok saya bisa menjadi seperti saat ini.
Selain bapak-simbok, ada simbah. Ada juga mbakyu saya, Mbak Tiek Sumarti, seseorang yang menjadi alasan saya memutuskan merantau dan kuliah di Bandung. Serta, sudah pasti Mas Kasam dan Mbak Sukemie Kasam yang sangat berjasa, tidak hanya membantu secara materi tapi juga membantu membentuk karakter saya, selama di Bandung.
Simbah-simbah, Bapak-simbok, Mbak Tiek, Mas Kasam-Mbak Kemie, kakak-kakak saya yang lain, adik saya, serta para sahabat, tetangga, para guru adalah orang-orang penting selama saya menempa diri. Tapi ada satu lagi sosok yang sangat besar jasanya dalam hidup saya hingga hari ini: Fia.
Fia adalah teman kuliah, teman berdiskusi, teman yang membuat hidup saya di Bandung berpendaran oleh rasa berjuta. Fia yang saya perjuangkan sejak sama-sama masuk MIPA ITB, untuk mengisi seluruh sisi hati saya. Kepadanya buku ini, saya tulis sebagai pahatan kecil perjalanan panjang kebersamaana kami hingga saat ini. Saat, darinya lahir dua putri kami yang kini sudah mulai dewasa.
Pada akhirnya, buku ini menandai 50 tahun usia saya yang rasanya belum bisa berbuat banyak untuk Nganjir, desa saya. Atau untuk Kulon Progo, untuk Jogjakarta, dan untuk Indonesia. Mohon maaf kalau ternyata buku ini, tidak ada apa-apanya, di banding dengan buku lain yang lebih heroik. Lebih historik, serta lebih inspiratif. Maklum, Nami kulo Sumarjono. Nama saya Sumarjono. Wong nggunung yang sesungguh-sungguhnya nggunung. Selamat membaca.
Nami Kulo Sumarjono (NKS)