Hidayat Nurwahid menegaskan salah jika ada pihak yang mencurigai umat Islam.
Jakarta, KP
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid menegaskan salah jika ada pihak yang mencurigai umat Islam, karena dalam konteks ideologi Pancasila,
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Kebinekaan, keumatan, kerakyatan dan, keindonesiaan, umat islam dari dulu sudah menyatu untuk mempertahankan NKRI.
Demikian ditegaskan Hidayat Nurwahid dalam kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI kepada ratusan Ibu-ibu yang tergabung dalam yayasan ‘Bait Al Rahman’ saat acara temu tokoh nasional di Gedung Nusantara IV Senayan, Jakarta Selatan, kemarin.
“Kala itu, pekikan Allahu Akbar, Allahu Akbar, merdeka, dari Bung Tomo adalah sebuah gambaran tentang bagaimana dulu para Founding Father atau bapak bangsa melakukan kegiatan yang tersemangati dengan satu fatwa Resolusi Jihad dari KH Hasyim Asy’ari,” ujar Hidayat.
Hidayat pun bercerita bahwa fatwa resolusi jihad itu diterapkan sejak 22 Oktober 1945 dimana KH Hasyim Asyari menyampaikannya dalam forum rapat Syuro ulama se Jawa Timur. Mereka terdorong untuk berperang mempertahankan Indonesia dari penjajah Belanda.
Dijelaskan Hidayat yang juga mantan Ketua MPR itu, isi dari Resolusi Jihad itu adalah, mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari kemungkinan dijajah kembali oleh Belanda. Hukumnya adalah Fardhu Ain, kewajiban yang harus diikuti individu setiap muslim.
Semua yang dilakukan ulama, santri, dan Bung Tomo, menunjukan peran ummat Islam sangat besar dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. “Tidak hanya itu peran yang dimainkan oleh ummat Islam dalam menjaga bangsa dan negara,” ujar dia.
Dituturkan, ketika bangsa ini memilih bentuk NKRI, pilihan itu tidak disukai Belanda. Untuk menggagalkan Indonesia bersatu, mereka terus menekan Indonesia dengan mengakui kedaulatan, namun dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Pengakuan itu diberikan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, Desember 1949.
Dalam perjalanan waktu, Ketua Fraksi Masyumi, di Parlemen, yakni Mohammad Natsir, melihat hal yang demikian, bentuk RIS, merupakan penyimpangan dari tujuan negara ini didirikan. Untuk itu, 3 April 1950, Natsir menyampaikan pidato di depan anggota parlemen. Pidato dengan judul Mosi Integral itu didukung oleh semua politisi.
“Dari pidato itulah membuat Indonesia kembali menjadi NKRI,” ujarnya. Apa yang dilakukan Natsir, menurut HNW membuktikan dalam masalah menjaga persatuan bangsa, partai dan ummat Islam merupakan garda terdepan.
Jadi, papar Hidayat, NKRI disemangati, diisi, diperjuangkan dan diselamatkan oleh para santri, tokoh umat Islam baik ormas islam maupun diorganisasi politik. “Dari dulu ormas Islam dan partai Islam sudah memberikan jasa yang luar bias untuk NKRI,” tegas Hidayat.
Politisi senior PKS itu juga mengatakan, jika mengacu pada Pancasila dan UUD 1945 sesungguhnya Indonesia memberi ruang kepada seluruh anak bangsa, termasuk umat Islam melalui Anggota DPR dan MPR agar bisa berkiprah membangun Indonesia gemilang.
“Tapi, sekarang ini banyak pihak yang teriak untuk mencabut Tap MPR Nomor XXV tahun 1965 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI),” ungkapnya.
Namun, lanjutnya, MPR RI menolak pencabutan Tap MPR no XXV tahun 1965 itu, karena segala paham komunis merupakan hal yang telah dilarang di Indonesia. “Kami MPR RI terus berkiprah mencegah agar Indonesia tidak terjajah kembali oleh ideologi-ideologi komunis.”
Kepada ratusan Ibu-ibu yang tergabung dalam yayasan ‘Bait Al Rahman’ itu, juga disampaikan bahwa rakyat Indonesia mempunyai kedaulatan. Kedaulatan yang dimiliki itu bisa digunakan saat Pemilu untuk menentukan masa depan bangsa.
“Untuk itu dalam proses demokrasi, dalam memilih pemimpin jangan hanya banyak-banyakan suara namun juga perlu dipilih pemimpin yang memiliki kualitas dan kapasitas. “Pilih pemimpin yang baik dan benar,” pungkasnya. (kh)
Teks foto:
EMPAT PILAR – Wakil Ketua MPR Hidayat memberikan ceramah kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI kepada ratusan Ibu-ibu yayasan ‘Bait Al Rahman’ saat acara temu tokoh nasional di Gedung Nusantara IV Senayan, Jakarta Selatan, kemarin. (kh)