NKS Menulis: Jas Merah &  Airmata Tujuhbelasan

Jangan bilang-bilang. Ini rahasia. Meski rahasia kecil. Benar. Mumpung sedang Agustus, tulisan saya kali ini dimaksudkan sebagai tulisan hiroik. Heroik ala wong ndeso.

Saya menulis sambil mengingat pesan penting Bung Karno, tokoh Proklamasi yang dicintai seluruh bangsa Indoneseia. Pesan yang  terasa luhur itu, sangat jelas: JAS MERAH, jangan sekali-sekali melupakan sejarah.

Dulu, di sekolah, saya kurang tertarik pada pelajaran sejarah. Waktu itu, prinsip saya, yang sudah ya sudahlah. Sebab yang penting adalah melupakan masa lalu untuk tegap menatap masa depan. Kita harus move on. Tapi sejarah ternyata penting. Untuk tahu siapa kita, dari mana, dan sudah melakukan apa. Sepenting itu, rupanya. Terutama, untuk menuntun kita menuju arah serta langkah kita selanjutnya.

Jadi begitulah. Seperti semua warga bangsa, upacara detik-detik Proklamasi, memang selalu memberi heroisme yang besar. Haru-biru dan segala perasaan cinta tanah air. Dan, dalam suasana serupa itu, tulisan ini saya mulai. Tulisan hiroik. HIROIK, dengan huruf besar semua.

Jujur, saya agak malu untuk bercerita. Karena beberapa kali harus menghapus tetesan air mata. Suasana upacara sangat berbeda. Keharuan, bahkan sudah datang sejak sang merah putih diberikan Pembina Upacara kepada putri cantik Pembawa Bendera, lalu bendera itu diusap seolah dirapikan. Melihat itu, air mata tumpah tak tertahan. Semoga tidak ada yang melihat. Biarlah dari tulisan ini, kini, semua orang tahu.

Tumetesing waspo, pindho leledo, ngreridu rindu. Bersama linangan airmata, seperti ada kerinduan yang menggoda dari masa lalu. Kerinduan pada cita-cita menjadi petugas upacara di sekolah yang tak pernah tercapai.

Sampai saat ini pun, pertanyaan usang saya berpuluh tahun silam, tidak terjawab: mengapa mesti yang punya ketinggian tertentu yang terpilih sebagai petugas upacara, toh mengibarkan bendera dibantu menggunakan tali hingga bisa berkibar di ujung tiang.

Tapi sungguh. Tanggal 17 Agustus adalah upacara bendera yang mengguncang hati. Tidak  peduli lagi, meski keinginan ikut tampil sebagai petugas upacara menjadi cita-cita abadi. Ini adalah negeri yang diperjuangkan dengan keringat, darah, bahkan nyawa pahlawan.

Saya diapit Bapak Naufal Mahfuzd, Direktur Umum dan SDM, serta Ibu Inda D Hasman, Anggota Dewan Pengawas.

Saya bergumam. Upacara 17 Agustus kemarin, sukses menggelorakan cinta tanah air, setelah merapuh oleh kerasnya pesta demokrasi yang mencekam. Selayaknya, kemerdekaan yang ditebus klebus darah pahlawan, tidak diisi dengan caci maki. Sedih tak terperi, saat mendengar cerita suami istri berujung pisah hanya alasan berbeda pilihan. Mungkin kini mereka menyesal dan semoga rujuk kembali setelah para capres menunjukkan kemesraannya.

Saat upacara bendera, saya mendapat tempat duduk di sebelah kiri Pembina upacara. Sedikit di belakangnya. Khidmat tanpa lengah mengikuti prosesi upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-74.

Pemimpin upacara adalah Bapak Marsaid, yang sebentar lagi memasuki usia pensiun. Walau akan memasuki masa purna tugas, tapi suara lantang layaknya anggota TNI membuatnya dipilih untuk menjadi Pemimpin Upacara.

Saya mengenal Pak Marsaid hampir empat tahun. Sangat lembut tutur katanya. Heran juga mengapa saat menjadi Pemimpin Upacara, bisa menjadi selantang itu.

Mungkin ini pelampiasan. Atau sebagai alat untuk mengeluarkan semua suara hatinya. Tapi sangat boleh jadi, Pak Marsaid menghayati perannya dan menunjukkan rasa cinta tanah air secara maksimal. Saya salut dan hormat atas dedikasi Pak Marsaid.

Detik-detik pengibaran bendera yang selalu memberi haru.

“Kepada Sang Merah Putih hormaaaat, grak,”  begitu Pemimpin Upacara sesaat setelah petugas pengibar bendera menyatakan Bendera siap. Bendera dikerek naik menuju ujung tiang, diiringi lagu Indonesia Raya.

Saya merinding. Merdu paduan suara yang berlatih setengah bulan secara terus-menerus, mampu memompa suasana kebangsaan. Sangat menyentuh. Seolah kembali pada masa perang, memperjuangkan agar Sang Merah Putih tetap berkibar. Itu tak mudah.

Pesan singkat syarat hikmah disampaikan Pembina Upacara. Tema HUT RI kali ini adalah SDM Unggul Indonesia Maju. Tentu pesan untuk insan BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK) agar menjadi insan yang unggul. Memerdekakan diri dari zona nyaman untuk terus berinovasi, berubah sesuai tuntutan jaman dalam mengajak menjadi peserta.  Serta, melayani peserta BPJSTK dengan sebaik mungkin.

Pasukan pengibar bendera dan petugas upacara berfoto bersama.

Upacara selesai. Lagu-lagu semangat kemerdekaan serempak indah diperdengarkan. Pasukan pengibar bendera berjejer dan beratraksi meneriakan yel-yel penuh semangat cinta tanah air, cinta BPJSTK. Saya salami satu per satu seluruh pasukan pengibar bendera sambil berucap terimakasih. Upacara disudahi dengan foto bersama. Foto kebersamaan. Bersama-sama mencintai negeri bernama Indonesia.

Setelah itu, waktu bergeser ke lapangan. Saatnya mengisi Agustus dengan berbagai lomba. Saya memantau lewat media sosial, hampir seluruh cabang menggelar lomba. Demikian juga di komplek perumahan, di kampung, serempak seluruh rakyat berpesta. Termasuk di sekitaran tempat tinggal saya di Depok.

Ini memang tradisi. Sejak kecil kita tahu ada lomba tujuhbelasan. Orang mengenalnya sebagai lomba tujuhbelasan, karena memang hanya dirayakan setiap tanggal 17, usai upacara peringatan Detik-detik Proklamasi. Mulai dari sekolah-sekolah, di sekitaran rumah, hingga di pinggir sungai ada lomba. Lomba yang khas Agustus.

Tapi tahukah Sedulur NKS? Ada filosofi tersendiri dari setiap perlombaan khas tujuhbelasan itu. Misalya lomba makan krupuk, lomba balap karung, atau lomba panjat pinang. Mumpung Agustusan, mari membuka kembali buku sejarah, karena jawabaannya ada di sana.

Lomba makan kerupuk di BPJSTK Cabang Surabaya Rungkut.

Kita tahu. Dulu, kegetiran, kepedihan, serta kemiskinan akibat penjajahan Belanda membuat masyarakat tidak bisa makan dengan empat sehat lima sempurna. Nasi dipasangkan dengan kerupuk menjadi santapan mewah. Nasi pun belum tentu selalu ada. Untuk mengenang jaman susah tersebut, lomba makan kerupuk diciptakan untuk keseruan dan kebersamaan.

Bagaimana dengan lomba balap karung? Lomba ini untuk mengingatkan masyarakat akan kejamnya penjajah Jepang. Pada masa itu, walau dalam waktu yang lebih singkat dibanding i penjajahan Belanda, tapi kesengsaraan hidup memuncak. Saking sengsaranya, rakyat hanya bisa memakai baju yang terbuat dari karung goni. Betapa gatal dan tidak nyamannya berbaju dari karung goni.

Lalu, panjat pinang. Ini juga peninggalan penjajah Belanda. Orang Belanda pada saat perayaan tertentu seperti merayakan hari ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmia, atau menggelar acara pernikahan mengadakan acara panjat tiang yang disebut dalam bahasa Belanda De Klimmast.

Hadiah yang diperebutkan adalah barang yang mewah untuk ukuran para peserta yang tidak lain adalah para pribumi. Keju, gula, pakaian, atau makanan lainnya menjadi hak pemenang yang bisa memanjatnya hingga puncuk tiang.

Tentu para penjajah Belanda hanya menonton dan menertawakan para pribumi yang bersusah payah, jatuh karena licinnya tiang, atau harus rela kepalanya diinjak oleh rekan lain, agar bisa meraih hadiah. Hadiah itulah yang nanti dibagi rata.

Bagaimana dengan filosofi lomba-lomba lain? Sama. Semua diciptakan bukan tanpa makna. Lomba egrang misalnya. Dibuat untuk mengolok-olok penjajah Belanda karena jangkungnya, atau lomba tarik tambang untuk kekompakan. Juga, lomba-lomba hasil kreativitas anak bangsa.

Di kantor, saya pun menyelenggarakan lomba. Pingpong. Ini adalah olah raga yang menjadi hobi saya. Permainan yang disukai terutama orang paro baya dan agak ndeso. Lomba kali ini, diikuti oleh penggemar pingpong di kantor pusat dan cabang di Jakarta. Hanya sebagai pemanasan untuk lomba pingpong yang lebih besar.

Tahukah bagaimana sejarah pingpong? Awalnya tenis meja dimainkan oleh orang kelas atas Inggris setelah makan malam. Dikembangkan oleh tentara Inggris yang tugas (menjajah) India dan Afrika Selatan lalu dibawa pulang ke Inggris. Sebagai netnya, disusunlah buku di atas meja dan dipilih dua buku sebagai alat untuk memukul bola ping-pong atau betnya. Lalu bet pingpong berkembang, ada kayu dan karet dengan berbagai macam pilihan.

Lomba pingpong Agustusan di kantor BPJSTK

Dalam pertandingan pingpong tujuhbelasan di kantor, saya berjuang secara total. Teringat bagaimana pahlawan dulu berjuang untuk mengalahkan lawan. Tidak sia-sia, lawan satu demi satu takluk walau tidak dengan mudah.

Sejatinya kalau pun menang saya nggak akan kondang (terkenal), tapi kalau kalah justru memalukan. Dan seperti yang ditebak oleh banyak orang, saya meraih gelar juara. Sebagian lalu berbisik, pasti lebih karena tak enak mengalahkan saya. Tapi bagi saya, yang penting adalah telah mengajak berolahraga agar sehat. Bukankah jika sehat bisa mengingat pesan sang proklamator tentang Jas Merah? Jadi jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Depok, 21 Agustus 2019, Salam NKS: Nasionalisme Kita Selamanya

About redaksi

Check Also

Rumah Rusak Terdampak Banjir, Pemprov Jateng Mulai Siapkan Perbaikan

Semarang,koranpelita.com – Beberapa daerah yang terdampak banjir belakangan ini, terutama rumah warga yang rusak akibat …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.